Sabtu, 18 Juni 2011

Inilah Ciri-ciri Aliran Sesat, Semuanya Ada di Salafy Wahabi

TANDA-TANDA ALIRAN SESAT MENURUT IMAM AS-SYATIBHI


ciri-ciri aliran sesat
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Pada beberapa waktu yang lalu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah. Terdapat sekian banyak dalil yang diajukan oleh MUI sebagai bukti-bukti kesesatan Ahmadiyah. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk aliran sesat. Mendengar pernyataan ini salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan, apa bukti-bukti atau dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan tersebut, saya menjelaskan, bahwa al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat.
(1) tanda-tanda terperinci, yang telah diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa al-Nihal, al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain.
(2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.

Perpecahan dan Percerai beraian



Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”



Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.

Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.

Setelah menguraikan demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Di mana Khawarij memecah belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.

Ada kisah menarik berkaitan dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang pemateri yang beraliran Salafi berkata, “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.” Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya, “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah Wal-Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.
Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.

Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.

Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz, layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”.  Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Musri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).

Mengikuti Teks Mutasyabihat

Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya”. (QS. 3 : 7). Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu ada dua; (1) mutasyabih haqiqi seperti lafal-lafal yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Dan (2) mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya, meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari ayat, “ini al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”.  Secara literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali radhiyallahu anhu. Menurut Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.” Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menawan musuh-musuhnya dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. 49 : 9).

Ayat tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali radhiyallahu anhu terjadi operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin ‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, kita dapati mereka selalu berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahhabi membaca ayat al-Qur’an, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”, (QS. 39 : 3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah syirik dan kafir.
Kaum Wahhabi lupa, bahwa di samping mereka tidak memahami makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan para nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi biasanya mengikuti teks-teks literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.

Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan mereka”.

Mengikuti Hawa Nafsu

Ketiga, mengikuti hawa nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan (zaigh)”, (QS. 3 : 3). Kesesatan (zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS. 28 : 50).

Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini. Ketika orang-orang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.” Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat zhuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.” Ali radhiyallahu anhu menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.” Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya Ali radhiyallahu anhu merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh dari pada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka. Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an dari pada kalian. Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. 43 : 58). Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.

Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah, Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah mengalahkan mereka.

Tidak Mengetahui Posisi Sunnah

Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut Asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut Asy-Syathibi, seorang alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.

Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri aliran Wahhabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn Humaid dalam al-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah:
“Hari ini manusia mendapat ujian dengan tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satu pun dari syarat-syarat ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah wa inna ilayhi raji’un.” (Syaikh Sulaiman, al-Shawaiq al-’Ilahiyyah, hal. 5).

Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya.
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah makan ayam. Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali bilang, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan alasan bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad (kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang pertama. Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.

Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan, “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ibn al-Muqri’ al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.

Menghujat Generasi Salaf

Menurut al-Imam Asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq (yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu, tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan dalam ayat al-Qur’an (QS. 3 : 7).
Selain hal tersebut, Asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.
Dalam hal ini Asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Padahal para sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali radhiyallahu anhu.

Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syiah, seperti dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, sesudah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.

Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk, istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.

Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu telah musyrik, dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashir al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Dalam kitab al-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan. Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan. Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.

Sulit Diajak Dialog Terbuka

Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang. Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena perdebatan ilmiah.

Al-Imam Asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan berdebat dengan pihak lain. Menurut Asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan awam.

Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010 di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir, Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat Islam.” Begitulah kira-kira ucapan mereka.

Tentu saja ucapan itu mereka lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya. Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam, tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan lainnya.

Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan berharap mereka (ahli bid’ah Salafy Wahabi) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam ilmunya.”
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin….

Sumber: http://ummatiummati.wordpress.com/2011/03/25/inilah-ciri-ciri-umum-aliran-sesat-semuanya-ada-di-salafy-wahabi/

Kamis, 16 Juni 2011

Keberadaan Kubur Nabi

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan dan mengutamakan umat Muhammad, dari pada umat selainnya. Hal ini dikarenakan, umatnya mengetahui keberadaan kubur Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Baik secara yakin (sudah menyaksikan sendiri) atau pun dengan kabar berantai. Tidak ada keraguan dan kebimbangan dalam hal ini bagi manusia untuk menolaknya. Demikian pula ketika berada dalam perjalanan ibadah haji, sehingga kita dapat menyaksikan kuburnya yang mulia.

Tentang hal tersebut, terdapat sebuah sya'ir dari Ibn Hajar:

"Tidak diketahui kubur mereka di bumi, secara yakin selain yang di tempati Rasul"

Al-Imam Malik Rahimahullah, pernah berkata kepada al-Mahdi:
"Hai 'Amirul Mu'minin, sesungguhnya anda sekarang memasuki kota Madinah. Maka tengoklah ke sisi kanan dan kiri Anda. Mereka adalah putra-putra orang Muhajirin. Berikanlah salam kepada Mereka, karena sesungguhnya tidak ada kaum yang berada di atas bumi ini yang lebih baik dari pada penduduk Madinah. Dan tidak ada tempat yang terbaik selain kota Madinah."

Lalu ditanyakan kepada beliau:
"Dari mana Anda bisa berkata seperti itu, wahai Abi 'Abdillah?" Dijawab: "Karena tidak ada kubur Nabi yang diketahui sampai saat sekarang ini di atas bumi, selain dari kubur Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jika terdapat kubur Nabi Muhammad diantara mereka (ahli Madinah), maka hendaknya perhatikanlah keutamaan mereka atas yang lainnya [pernyataan ini seperti apa yang terdapat dalam kitab Al Mustadrak]."

Kubur yang mulia adalah tempat turunnya rahmat Ilahiyah. Ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam hadits dari Ka'ab Radiyallau 'Anhu:

"Tidak ada pagi yang terbit, kecuali turun bersamanya tujuh puluh ribu malaikat, sampai mereka berkeliling di kubur [Nabi]. Mereka mengepakkan sayap-sayap mereka, dan mereka pun bershalawat kepada Nabi. Dan ketika sore, mereka kembali. Lalu di ganti dengan tujuh puluh ribu malaiakat yang lain, sampai mereka mengelilingi kubur sambil menngepakkan sayap mereka. lalu mereka pun bershalawat kepada Nabi; tujuh puluh ribu ketika malam dan tujuh puluh ribu ketika siang." [HR. al-Hafidhz Isma'il al-Qadhi dalam Juz'i ash-Shalah 'ala an-Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam].


---ooo---

Tawassul

 Oleh: Habib Mundzir Almusawa

Saudara saudaraku masih banyak yang memohon penjelasan mengenai tawassul, wahai saudaraku, Allah swt sudah memerintah kita melakukan tawassul. Tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt, Allah swt mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw sebagai perantara pertama kita kepada Allah swt, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in. Demikian berpuluh – puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw, sampailah kepada Allah swt.

Allah swt berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah atau patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-35).

Berkata Imam Ibn katsir menafsirkan ayat ini :

والوسيلة: هي التي يتوصل بها إلى تحصيل المقصود، والوسيلة أيضًا: علم على أعلى منزلة في الجنة، وهي منزلة رسول الله صلى الله عليه وسلم وداره في الجنة، وهي أقرب أمكنة الجنة إلى العرش، وقد ثبت في صحيح البخاري، من طريق محمد بن المُنكَدِر، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من قال حين يسمع النداء: اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودا الذي وعدته، إلا حَلَّتْ له الشفاعة يوم القيامة".
حديث آخر في صحيح مسلم: من حديث كعب عن علقمة، عن عبد الرحمن بن جُبير، عن عبد الله بن عمرو بن العاص أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: "إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول، ثم صلُّوا عَليّ، فإنه من صلى عَليّ صلاة صلى الله عليه بها عشرًا، ثم سلوا الله لي الوسيلة، فإنها منزلة في الجنة، لا تنبغي إلا لعبد من عباد الله، وأرجو أن أكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة حَلًّتْ عليه الشفاعة." (1)
حديث آخر: قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، أخبرنا سفيان، عن لَيْث، عن كعب، عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "إذا صليتم عَليّ فَسَلُوا لي الوسيلة". قيل: يا رسول الله، وما الوسيلة؟ قال: "أعْلَى درجة في الجنة، لا ينالها إلا رَجُلٌ واحد (2) وأرجو أن أكون أنا هو".

Wasilah adalah sesuatu yg menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan, dan merupakan perantara pula ilmu tentang setinggi tinggi derajat, ia adalah derajat mulia Rasulullah saw di Istana beliau saw di sorga. Dan itu adalah tempat terdekat di sorga ke Arsy, dan telah dikuatkan pd shahih Bukhari dari jalan riwayat Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdillah ra, sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yg berdoa ketika mendengar seruan (adzan) :Wahai Alla Tuhan Pemilik Dakwah ini Yang Maha Sempurna, dan Shalat Yang didirikan, berilah Muhammad perantara dan anugerah, dan bangkitkanlah untuk beliau saw derajat yg terpuji yg telah Kau Janjikan pada beliau saw, maka telah halal syafaat dihari kiamat”.

Hadits lainnya pada Shahih Muslim, dari hadits Ka;ab dari Alqamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, sungguh ia mendengar Nabi saw bersabda : Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkan seperti ucapan mereka, lalu bershalawatlah padaku, maka sungguh barangsiapa yg bershalawat padaku sekali maka Allah melimpahkan shalawat padanya 10x, lalu mohonlah untukku wasiilah (perantara), maka sungguh ia merupakan tempat di sorga, tiada diberikan pada siapapun kecuali satu dari hamba Allah, dan aku berharap agar akulah yg menjadi orang itu, maka barangsiapa yg memohonkan untukku perantara, halal untuknya syafaat.

Dan hadits lainnya berkata Imam Ahmad, diucapkan pada kami oleh Abdurrazzak, dikabarkan pada kami dari sofyan, dari laits, dari Ka;ab, dari Abu Hurairah ra : Sungguh Rasulullah saw bersabda : Jika kalian shalat maka mohonkan untukku wasiilah, mereka bertanya : Wahai Rasulullah, (saw), wasiilah itu apakah?, Rasul saw bersabda : Derajat tertinggi di sorga, tiada yg mendapatkannya kecuali satu orang, dan aku berharap akulah orang itu
Selesai ucapan Imam ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir pd Al Maidah 35)
                                         
Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah, dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan Hadits hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan syafaat beliau saw.

Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di goa dan masing – masing bertawassul pada amal shalihnya, Allah swt membuka sepertiga celah goa tempat mereka terperangkap berkat tawassul orang pertama pada amal shalihnya, namun mereka belum bisa keluar dg celah itu, maka orang kedua bertawassul pada amal shalih yg pernah diperbuatnya, maka celah terbuka 2/3 dan belum bisa membuat mereka keluar dari goa, maka orang ketiga bertawassul pula pada amal baiknya, maka terbukalah celah goa keseluruhannya.

Namun dari riwayat ini bisa difahami bahwa tawassul pada amal shalih sendiri tidak bisa menyelamatkan dirinya, namun justru sebab dua orang lainnya maka mereka semua bisa selamat..

Jelas sudah bertawassul pada orang lain lebih bisa menyelamatkan daripada tawassul pada amal sendiri yg belum tentu diterima, namun tawassul pada orang shalihh yg sudah masyhur kebaikan dan banyaknya amal ibadahnya, akan lebih mudah dikabulkan Allah swt, lebih lagi tawassul pada Rasulullah saw.

Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra pada riwayat shahih Bukhari :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Dari Anas bin Malik ra sungguh Umar bin Khattab ra ketika sedang musim kering ia memohon turunnya hujan dengan perantara Abbas bin Abdulmuttalib ra, seraya berdoa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami (Muhammad saw) agar kau turunkan hujan lalu Kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.954)

Selasa, 14 Juni 2011

Nadzar Kepada Awliya'

Bagaimana hukumnya menyembelih hewan yang di maksudkan bagi para wali?
Jawab: Jika seseorang melakukan itu atas nama wali, atau agar dia dapat mendekatkan diri kepadanya, dia seperti orang yang menyembelih untuk selain Allah. Dengan demikian, yang disembelih adalah bangkai, dan yang menyembelih berdosa.
Perbuatan tersebut tidak menjadikan kufur bagi pelakunya, "kecuali" jika ditujukan sebagai pengagungan dan ibadah, sebagaimana jika dia sujud kepadanya untuk keperluan itu. Adapun jika penyembelihan dimaksudkan untuk Allah SWT dandagingnya di sedekahkan kepada kaum faqir dan miskin, dengan niat pahala sedekah itu dihadiahkan kepada ruh seorang wali, ini boleh, bahkan dianjurkan, sesuai kesepakatan para ulama terkemuka, karena ini termasuk sedekah atas nama mayit dan berbuat baik kepadanya, yang dianjurkan dan ditekankan syari'at kepada kita.

Bagaimana pula hukum bernadzar kepada para wali?
Jawab: Nadzar bagi para wali dan ulama dibolehkan dan dibenarkan, jika yang dimaksudkan oleh orang yang bernadzar adalah penduduk setempat yang terdiri dari anak-anak mereka atau kaum fakir yang berada di kubur mereka, atau dimaksudkannya untuk membangun makam mereka, karena ini dapat menghidupkan ziarah kubur, yang dianjurkan syari'at. Demikian pula dibenarkan, jika orang yang bernadzar menyatakan secara mutlak dan nadzarnya dialihkan untuk kemaslahatan tersebut diatas.
Berbeda dengan jika dimaksudkan untuk mengagungkan kuburan dan mendekatkan diri kepada penghuni yang ada di dalamnya, atau nadzar dimaksudkan untuk diri si mayit, ini tidak dibenarkan dan dilarang.

Apa yang dimaksud oleh kaum muslimin dengan "sembelihan mereka bagi orang-orang yang sudah wafat"?
Jawab: Setiap muslim yang menyembelih hewan untuk nabi atau wali, atau bernadzar sesuatu untuknya, itu tidak dimaksudkannya selain untuk bersedekah atas namanya dan memberikan pahalanya kepadanya. Dengan demikian, itu termasuk dalam kategori hadiah orang hidup bagi orang mati, yang diperintahkan berdasarkan syari'at. Ahlussunah dan ulama umat sepakat bahwa sedekah orang-orang yang hidup bermanfaat bagi orang-orang yang mati, serta sampai kepada mereka.

Apa dalil yang menyatakan bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang mati?
Jawab: Dalilnya adalah sejumlah hadits shahih. Diantaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah ra, seorang bertanya kepada Nabi SAW, "Ayahku wafat, namun ia belum sempat menyampaikan wasiat. Apakah berguna bila aku bersedekah atas namanya?" Beliau menjawab, "Iya." [Disampaiakan oleh Muslim No. 1630, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah ra].

Dari Sa'ad ra, ia bertanya kepada Nabi SAW, "Wahai Nabiyullah, ibuku telah terluputkan (wafat tanpa sempat berwasiat), dan aku mengetahui bahwa, seandainya ia masih hidup, ia akan bersedekah. Apakah, jika aku bersedekah atas namanya, itu berguna baginya?" Beliau menjawab, "Iya." [Terdapat dalam ash-Shahihan].

Dalam riwayat lain dinyatakan bahwasannya ia bertanya kepada Nabi SAW, "Sedekah apa yang paling berguna, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Air". Lalu dia menggali sumur dan berkata, "Ini untuk Ummu Sa'ad." [Disampaiakan oleh Abu Dawud No.1681, an-Nasai No.3664, dan lainnya].

Dinyatakan dalam sebuah riwayat, Nabi SAW diberi seekor domba pada saat 'Idul Adha. Beliaupun menyembelihnya dan bersabda, "Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini atas namaku dan orang yang tidak berqurban di antara umatku." [Disampaikan oleh Abu Dawud No.2810, at-Tirmidzi No.1521, Ahmad 3:356 No.14880, dan lainnya, dari hadits Jabir bin Abdillah ra].

Ini merupakan dalil, bahwa manfaat akan didapat oleh orang-orang yang hidup dan orang-orang yang wafat di antara umat beliau, lantaran qurban beliau SAW. Jika tidak demikian, (perbuatan Rasulullah SAW) itu tidak ada gunanya.

Sumber: Seribu Satu Jawaban Masalah-Masalah Aqidah Islam
Terjemah dari Kitab Ajwibah Algholiyah, Karya: Al-Allamah Al-Faqih Alhabib Zein bin Sumaith

---ooo---

Senin, 13 Juni 2011

Amr Ibn Luhayy

Pembuatan berhala pada awalnya bertujuan untuk mengenang tokoh. Lalu berlanjut menjadi pemujaan dan penyembahan. Di kisahkan, Amr ibn Luhayy menaklukan Makkah, mengusir Jurhum meninggalkan kota, dan mengambil alih mandat pengelolaan Ka'bah.

Ia, atau Rabi'ah ibn Amr Ash-Shabbah Haritsah ibn Tsa'labah ibn Amru' al-Qays ibn Mazin ibn al-Azd, adalah bapak suku Khuza'ah. Ia seorang kahin atau pendeta. Ibunya adalah Fihayrah, putri al-Harits, tetapi sumber lain menyatakan ia adalah putri al-Harits ibn Murad al-Jurhumi.

Amr mengikuti peramalnya yang bernama Abu Tsumamah untuk menemukan berhala-berhala zaman dahulu di pantai Juddah. Kemudian Amr menggali berhala-berhala keluar dari pasir, membawanya ke Tihamah, dan menegakkannya di sana. Saat masa haji tiba, ia mengundang semua bangsa Arab untuk menyembah berhala-berhala tersebut.

Awf ibn Udzrah ibn Zayd al-Lat ibn Rufaydah ibn Tsawr ibn Kalb ibn Wabarah ibn Taghlih ibn Hulwan ibn Imran ibn al-Haf ibn Qudha'ah menyambut panggilannya. Karenanya, Amr memberinya Wadd, yang dibawa Awf ke Wadi al-Qurra, dan ia menegakkannya di Daumatul Jandal, Al-Jawf, di Saudi Utara sekarang.

Keberhalaan Wadd menyebar ke selatan, yaitu Yaman. Ma'in sebuah kerajaan kuno di Arab Selatan, menjadikan Wadd ("cinta") sebagai Tuhan Nasional-nya. Sedang di tempat asalnya di Daumatul Jandal, Wadd adalah "dewa bulan".

Kerajaan Ma'in berjaya selama abad ke-4 sampai ke-2 SM di utara Yaman sekarang. Bangsa Ma'in adalah komunitas pedagang yang damai dan pemerintahnya menunjukkan pola-pola demokratis negara kota.
Ma'in jatuh dalam kekuasaan bangsa Saba' , yang terkenal dengan ratunya Bilqis.

Wadd adalah nama lain dari Ilumquh. Ada kebiasaan mengunjungi Ilumquh (haji) dengan ritus menyucikan diri (wudhu), qurban, dan kepatuhan atas pandangan tertentu. Mereka mencari bimbingan keramat dari tuhan ini, yang kemudian dituliskan dan disimpan di kuilnya untuk alasan keamanan.

Awf juga menamai anaknya "Abd Wadd", ia adalah yang pertama bernama demikian. Kemudian bangsa Arab menamai anak-anak mereka "Wadd". Awf menjadikan anaknya Amir, yang di panggil "Amir al-Ajdar", pemegang mandat pengelolaan Ka'bah. Keturunannya terus memegang posisi itu hingga datang-nya Islam.

Setelah berhala Wadd, al-Qur'an menyebutkan berhala Suwa'. Tidak jelas gambaran tentang Suwa', namun diketahui bahwa suku Hudzail mengadopsi Suwa' menjadi tuhannya dan menempatkannya di Ruhat di daerah Yanbu, salah satu desa di Madinah. Pemegang mandat pengelolaan kuilnya adalah Bani Lihyan. Hanya anehnya, berhala ini tidak pernah disebut dalam puisi-puisi suku Hudzail, tetapi justru pernah muncul dari puisi salah satu penyair Yaman.

Kau lihat
mereka berkerumun di sekitar rajanya
sebagaimana suku Hudzail
mengelilingi Suwa'nya
dan mengisi istananya dengan qurban
yang diambil dari gembalaan terpilih

Suku Madzhij juga menyambut panggilan Amr ibn Luhayy. Karenanya, ia memberikan berhala Yaghuts kepada An'am ibn Amr al-Muradi, kepala suku, untuk menjaganya. Yaghuts ditempatkan di sebuah bukit di Yaman yang bernama Madzhij, ia disembah oleh suku Madzhij dan suku-suku di sekitarnya.

Seorang penyair, An-Nabighah Adz-Dzubyani, penyembah Yaghuts, bersyair:
Semoga Wadd memelihara
dan memberkatimu
sebab bagi kami
dilarang bersama wanita
beroman dan bermesra
Demikian keimanan kami
telah menegaskan

Suku Madhzij menganggap berhala Wadd sebagai feminim. Penyair lain bersyair:
Yaghuts membimbing kami
menuju Murad
Dan kami taklukan mereka
sebelum pagi

Suku Hamadan juga menyambut panggilan Amr, dan ia berikan berhala Ya'uq kepada Malik ibn Martsad ibn Jusyam ibn Rasyid ibn Jusyam ibn Khayran ibn Nawf ibn Hamdin, kepala suku. Ia ditempatkan di suatu pemukiman yang bernama Khaywan, berjarak dua malam berjalan kaki menuju Makkah. Ia disembah oleh suku Khaywin (Hamdan) dan suku-suku Yaman sekitarnya.

Berhala ini tidak menjadi nama kebanggaan suku penyembahnya, jadi tidak ada anak Hamdan atau suku Arab lainnya yang diberi nama Abdul Ya'uq. Nama Ya'uq juga tidak disebut-sebut dalam puisi mereka. Ini mungkin karena tempat mereka berdekatan dengan Shan'a, ibu kota Yaman. Akibatnya mereka berbaur dengan suku Himyar dan memeluk agama Yahudi. Saat itu Dzu Nawas Yusuf As'ar Yats'ar, raja Himyar Yaman, pada 523 M, membantai kaum-kaum Nashrani di Najran, perbatasan utara Yaman. Kaum Nashrani itu beranggapan, Isa Alaihissalam adalah Tuhan, meski mengambil wujud manusia.

Pembantaian ini membuat Negus di Ethiopia menyerbu Yaman. Ia mengalahkan dan membunuh Dzu-Nawas dan menunjuk seorang Nasrani sejak lahir, Abrahah, mantan jendral Ethiopia, menjadi gubernur Yaman. Abrahah termasyhur dalam sejarah Islam sebagai penyerang Ka'bah, yang kemudian ia dan pasukannya dihancurkan sepasukan burung [QS. al-Fiil (105): 1-5].

Suku Himyar juga menyambut panggilan Amr. Maka ia mengirimkan berhala Nasr kepada seorang lelaki dari Dzu-Ru'ayn bernama Ma'di-karib. Ma'di-karib mendirikannya di sebuah tempat di negeri Saba' bernama Balkha'. Berhala ini di sembah suku Himyar dan suku-suku sekitarnya. Mereka terus menyembahnya sampai Dzu-Nawas dari bangsa Tubba' menjadikan mereka Yahudi.

Semua berhala ini terus disembah sampai Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang memerintahkan agar berhala tersebut dihancurkan.

Hisyam ibn al-Kalbi (w. 406 H/661 M), dalam kitabnya Kitab al-Ashnam (Kitab Berhala), setelah rangkaian sejumlah rawi, menyebutkan, adalah Amr ibn Luhayy yang pertama menganjurkan Bahiirah, Saa'ibah, Washiilah, Haam, mengubah agama Ismail, dan mengundang bangsa Arab untuk menyembah berhala-berhala itu.

Inilah yang disebutkan di dalam al-Qur'an, "Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya Bahiirah, Saa'ibah, Washiilah, dan Haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti." [QS. al-Maidah (5): 103].

Bahiirah, adalah unta yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Saiibah, adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nadzar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, ia biasa bernadzar akan menjadikan untanya Saiibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat.
Washiilah, adalah seekor domba betina yang melahirkan anak kembar jantan dan betina. Yang jantan di sebut Washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
Haam, adalah unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali.

Perlakuan terhadap Bahiirah, Saiibah, Washiilah, dan Haam ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyyah.


---ooo---

Sabtu, 11 Juni 2011

Keluarga Rasulullah SAW

Apa di balik keterkaitan nasab dengan Rasulullah SAW?

Keterkaitan nasab dengan Rasulullah SAW merupakan kebanggaan terbesar dan termulia di sisi orang-orang pandai dan bijak. Keluarga inti beliau dan cabang-cabangnya adalah keluarga dan cabang keluarga termulia, lantaran nasab mereka terhubung dengan nasab beliau dan keterkaitan kedudukan mereka dengan kedudukan beliau.

Para ulama bersepakat, pemimpin-pemimpin dari keluarga beliau yang mulia adalah manusia terbaik dari sisi dzatiyah (materi fisik & psykhis)-nya pihak bapak dan kakek, dan bahwasannya mereka sama dengan selain mereka terkait hukum-hukum syari'at dan sanksi hukum.


Adakah dalil-dalil, al-Qur'an dan hadits, yang terkait dengan masalah tersebut!

Dalam firmannya Allah SWT, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahli bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya" [QS. al-Ahzab (33): 33].

Para Ulama mengatakan, firman-Nya "Ahli Bayt" mencakup tempat tinggal dan Nasab. Dengan demikian, istri-istri Nabi SAW adalah ahli bayt tempat tinggal, dan kerabat Nabi SAW adalah ahli bayt nasab.
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini, di antaranya hadits yang di sampaikan Ath-thabarani (al-Kabir 3/56): Dari Abu Sa'id al-Khudri ra, ia mengatakan, "Ayat ini turun terkait Nabi SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan, Nabi SAW memberikan pakaian kepada mereka dan berdo'a, "Ya Allah, mereka adalah keluargaku dan orang-orang khusus bagiku, hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." [Disampaikan oleh At-Tirmidzi no.3871 dan Ahmad no.6/292 dari hadits Ummu Salamah ra]. At-Tirmidzi mengatakan, ini "hadits hasan" dan merupakan hadits terbaik yang diriwayatkan dalam hal ini. Menurut Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap al-Musnad, "hadits ini shahih".

Dalam riwayat lain dinyatakan, Nabi SAW mengenakan pakaian  dan meletakkan tangan Beliau pada mereka serta berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, maka jadikanlah shalawat dan keberkahan-Mu pada keluarga Muhammad, Sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Perkasa." [Disampaikan oleh Ahmad 3/323, Ath-thabarani dalam al-Kabir 3/53, dan Abu Ya'la dalam al-Musnad 12/344 dari hadits Ummu Salamah ra].

Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keutamaan mereka adalah firman Allah SWT, "Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), 'marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta'." [QS. ali 'Imran (3): 61].
Para ahli tafsir mengatakan, ketika ayat ini turun, Rasulullah SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Lalu Beliau memangku Husain dan menggandeng tangan Hasan, sementara Fathimah berjalan di belakang Beliau dan Ali di belakang keduanya, lalu Beliau berdo'a, "Ya Allah, mereka itu adalah keluargaku".
Dalam ayat ini, terdapat dalil yang jelas bahwa anak-anak Fathimah dan keturunan mereka di sebut anak-anak Beliau SAW, dan nasab mereka dinisbatkan kepada beliau dengan penisbatan yang shahih dan berguna di dunia dan akhirat.

Di kisahkan, Harun ar-Rasyid bertanya kepada Musa al-Kazhim ra, "Bagaimana kalian mengatakan bahwa kalian adalah anak cucu Rasulullah SAW, padahal kalian adalah keturunan Ali? Padahal, seseorang hanya di nisbatkan nasabnya kepada kakek dari pihk bapaknya, bukan kakeknya dari pihak ibu."
Al-Kazham menjawab: "Aku berlindung kepada Allah dari syetan terkutuk, dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, 'Dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim), yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, serta Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas' [QS. al-An'am (6): 84-85]. Isa as, tidak memiliki bapak, tetapi dia di gabungkan dalam keturunan para Nabi dari pihak ibunya. Demikian pula kami digabungkan dalam keturunan Nabi kita (Muhammad SAW), dari pihak ibu kami, Fathimah ra. Lebih dari itu, wahai Amirul Mukminin, saat turunnya ayat mubahalah, tidaklah Nabi SAW memanggil, kecuali kepada Ali, Fathimah, Hasan dan Husain."
Demikianlah kisah ini disebutkan Allamah Syamsuddin al-Wasithi dalam "Majma' al-Ahbab".


Hadits-hadits yang terkait dengan keutamaan dan keistimewaan keluarga Nabi SAW.

Diantara hadits-hadits  tersebut adalah yang diriwayatkan Zaid bin Arqam ra, "Suatu hari Rasulullah SAW berdiri di antara kami untuk menyampaikan ceramah di tempat air yang disebut Khumm, antara makkah dan Madinah.
Beliau memuji dan menyanjung Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan, kemudian mengatakan, 'ketahuilah, wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah manusia yang tidak lama lagi akan kedatangan utusan Tuhanku, lantas aku memperkenankan dan aku meninggalkan di antara kalian dua peninggalan berharga.
Yang pertama, Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, terapkanlah kitab Allah dan berpegang teguhlah padanya'. Beliau menganjurkan penerapan kitab Allah dan menekankannya.
Kemudian beliau bersabda, 'Dan keluargaku. Aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku, aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku, aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku'."
Hushain bertanya kepada Zaid, "Siapa saja keluarga beliau, hai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk  keluarga beliau?"
Zaid menjawab, "Istri-istri beliau termasuk keluarga beliau, tetapi keluarga beliau sesungguhnya adalah mereka yang tidak di perkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau."
"Siapa saja mereka?" tanya Hushain lagi.
Zaid menjawab, "Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far dan keluarga Abbas".
Hushain bertanya, "Mereka semua tidak diperkenankan menerima shadaqah?"
"Ya", jawabnya [Disampaikan oleh Muslim no. 4425 dari hadits Zaid bin Arqam ra].

Pada redaksi lain (terkait yang dikatakan Nabi SAW di Khumm), "Sesungguhnya aku meninggalkan di antara kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain. Yaitu (pertama), kitab Allah SWT, tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan (kedua) keturunanku, keluargaku. Tidaklah keduanya berpisah hingga menemuiku di telaga surga. Maka, perhatikanlah bagaimana kalian sepeninggalku dalam mencintai keduanya." [Disampaikan oleh At-Tirmidzi no. 3788 dan lainnya, juga dari hadits riwayat Zaid bin Arqam ra.].

Dalam salah satu syairnya, Imam Syafi'i ra mengatakan:

Wahai keluarga Rasulullah
cinta kepada kalian semua
adalah kewajiban dari Allah 
dalam al-Qur'an yang di turunkan-Nya

Cukuplah keagungan kedudukan kalian
bahwa kalian semua
siapa yang tidak bershalawat kepada kalian
tidak syah shalat baginya

Seorang pentahqiq mengatakan, "Siapa yang mencermati realita dan fakta, dia akan menemukan bahwa keluarga Nabi SAW (secara umum, kecuali sedikit sekali), adalah yang melaksanakan tugas-tugas agama, menyeru kepada syari'at Pemimpin para Rasul, bertaqwa kepada Tuhan mereka, kalangan terpilih lantaran kesungguhan mereka, menjalin persatuan yang kukuh.
(Sebuah maqalah mengatakan) 'Siapa yang menyerupai bapaknya, dia bukan seorang yang aniaya'.

Ulama mereka adalah para pemimpin umat dan tokoh terkemuka yang menyingkirkan tindak kezhaliman. Mereka adalah keberkahan bagi umat ini. Mereka menyingkap berbagai kesuraman yang menyelimuti alam. Maka, harus ada di setiap masa dari kalangan mereka yang, lantaran mereka itu, Allah menghindarkan malapetaka dari manusia. Karena, mereka adalah keamanan bagi penduduk bumi, sebagimana bintang-bintang adalah keamanan bagi penduduk langit."


Apakah penisbatan kepada Nabi SAW bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat?

Nabi SAW bersabda, "Setiap hubungan nasab dan sabab (hubungan kekeluargaan lantaran pernikahan) terputus pada hari kiamat, kecuali nasabku dan sababku." [Disampaikan oleh Ibnu Asakir dalam bukunya At-Tarikh (21:67) dari hadits Ibnu Umar ra). Hadits ini menunjukkan besarnya manfaat penisbatan kepada Nabi SAW.

Dalil lainnya adalah hadits yang di sampaikan at-Thabarani dan lainnya, (dikutip) dari sebuah hadits yang cukup panjang, "Setiap sebab dan nasab terputus pada hari kiamat, kecuali sababku dan nasabku." [Disampaikan oleh At-Thabarani dalam al-Kabir 3/44 dan 11/343 dan al-Ausath 6/357].

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra, ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar, 'Ada apa dengan orang-orang yang mengatakan bahwa keterkaitan nasab dengan Rasulullah SAW tidak berguna bagi kaum beliau di hari kiamat kelak? Tentu, demi Allah, sesungguhnya keluargaku terjalin di dunia dan akhirat, dan sesungguhnya aku, wahai manusia, adalah yang mendahului kalian ke telaga surga'." [Disampaikan oleh Ahmad 3/18 dan lainnya, dari hadits Abu Sa'id al-Khudri ra].


--- ooo ---