Selasa, 29 November 2011

AYAT TASYBIH

Oleh: Habib Mundzir al-Musawa

Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam
jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu
tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti
Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.

Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”,
demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.

Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat. Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepadaKu dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal-hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera
lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:

1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu'minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan
membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh
tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.

2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri). Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.

Seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).

 Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569), Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hambaNya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125).

Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah SWT, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).

Walillahittaufiq

Senin, 28 November 2011

Mengutamakan Ukhrawi

Dalam suatu majelis di kota Madinah, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana sikap kalian jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?"
Diantara sahabat ada yang segera menjawab, "Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah".
Beliau segera menukas, karena ingin meyakinkan, "Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian lainnya. Jumlah kalian banyak, tetapi lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu dimakan anai-anai".
Para sahabat penasaran, lalu bertanya, "Mengapa bisa begitu, ya Rasulullah?"
Rasul segera menjawab, "Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut kepada dunia materi dan takut menghadapi kematian". Dalam hadits lain disebutkan, "Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah diantara kalian".

Apa yang dikatakan Rasulullah SAW bukanlah ramalan.Apa yang dikatakan beliau adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (pemberitahuan tentang sesuatu yang masih ghaib) yang mengandung indzar (peringatan) kepada umatnya, agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia. Rasulullah SAW mendapatkan ilmu dari Allah SWT dapat melihat ke masa depan, sehingga bisa memberikan gambaran pada masa yang akan datang.

Apa yang ditanyakan Rasulullah SAW kepada para sahabat  juga pernah ditanyakan Malaikat Jibril AS kepada Beliau, "Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai: menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman AS, atau menjadi Nabi yang papa seperti Nabi Ayyub AS?"
Nabi SAW menjawab, "Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Di saat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. Sedang di saat lapar, aku bisa bersabar dengan ujian dari-Nya.

Apa yang dikatakan Rasulullah SAW terbukti, ketika ada kesempatan Umar bin Khaththab ra masuk ke rumah beliau. Pada waktu itu Islam sudah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakmuran. Ketika Umar masuk ke dalam rumah beliau, matanya tertegun dengan keadaan isi rumah junjungannya itu. Di dalam rumah Rasulullah hanya ada sebuah meja dan alasnya yang terbuat dari daun kurma yang kasar. Sementara yang ada di dinding,  hanya ada sebuah girba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu.
Keharuan muncul di hati Umar, yang kemudian tanpa disadarinya air matanya mengucur. Tak diketahui Umar, bahwa Rasululah SAW melihatnya, dan kemudian menegurnya, "Apakah gerangan yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?"
Umar menjawab dengan masih terlihat air menetes dari matanya, "Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan, kecualisebuah meja dan sebuah girba, padahal ditangan Tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan barat, dan (kita telah mendapatkan) kemakmuran yang melimpah".
Beliau menjawab, dengan tegas, "Wahai Umar, aku  adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan kisra dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi".

Apa yang terjadi setelah Nabi wafat? Ternyata apa yang disabdakan Nabi itu terbukti. Fitnah yang sangat besar terjadi di separuh terakhir pemerintahan Khulafar Rasyidin. Lebih hebat lagi di zaman Daulah Bani Umayyah. Kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompok, mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan, sehingga terjadi pemberontakan dari sebagian umat Islam lainnya.

Kaum zuhhad, orang-orang yang berperilaku zuhud, dengan mengambil hadits-hadits di atas mengambil sikap menjauhi godaan duniawi. Mereka berpendapat, kehidupan ruhani yang terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri-dengki, dan dendam.
Kelompok inilah kemudian yang berkembang menjadi kelompok sufi dan selanjutnya menjadi kelompok tarekat. Mereka menempuh jalan ruhani untuk mencapai Mardhatillah.

---000---