Jumat, 08 Oktober 2010

Penjagaan Iman Umat Muhammad

Terjaganya iman umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Salam, adalah sebuah bagian yang terbesar dan teragung. Hal ini dikarenakan, kita diperintahkan untuk beriman kepada semua kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Juga kita diperintahkan untuk beriman kepada seluruh Rasul yang telah diutus oleh Allah SWT, tanpa membedakan antara satu dengan lainnya.

Hal ini dibenarkan dengan firman Allah SWT, sebagai berikut:

سُوۡرَةُ البَقَرَة
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّن رُّسُلِهِۦ‌ۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا‌ۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ (٢٨٥)


285. Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." [QS. Al-Baqarah, 285].

Kitapun telah diperintahkan untuk berikrar, akan kebenaran keimanan dan keyakinan yang baik secara ucapan, serta meyakini akan firman-Nya.

سُوۡرَةُ البَقَرَة
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُ ۥ مُسۡلِمُونَ (١٣٦)


136. Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" [QS. Al-Baqarah, 136].

Yakni, anugerah keimanan terbesar yang diberikan Allah kepada kita, dimana mereka beriman kepada sebagian dan tidak (dituntut) kepada sebagian yang lain.

Dari makna ini dapat kita simpulkan, bahwasannya harga seorang muslim dalam sebuah timbangan adalah lebih tinggi dari pada umat yang lain. Hal ini disebabkan, bahwa keutamaan umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terletak pada keimanan mereka.

Dalam hal tersebut, maka seorang muslim laki-laki boleh menikahi perempuan ahli kitab. Sedangkan bagi seorang wanita muslimah tidak diperkenankan untuk menikahi pria yang bukan muslim. Hal ini disebabkan, bahwa iman wanita muslimah tersebut lebih utama dibandingkan iman suaminya yang bukan muslim. Karena iman suaminya lebih rendah ketimbang iman dari istrinya yang muslimah.

Hal ini memiliki makna lain dalam permasalahan tersebut, yaitu: Jika seorang muslim yang menikahi seorang wanita yang bukan muslimah, baik wanita itu nashrani maupun yahudi, dimana ketika sang istri menyebut Nabinya, maka sang suami akan bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi (yang istrinya sebutkan) , dengan penuh penghormatan serta keagungan dan kemliaan. Berbeda dengan seorang wanita muslimah yang menikahi pria yahudi maupun nashrani, jika sang istri menyebut nama Nabinya, yaitu Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka sang suami tidak akan menyukainya atau bahkan bisa mencaci maki sang istri. Atau paling tidak, sang suami yang bukan muslim itu tidak akan meridhai dan tidak pernah menerima apa yang dikatakan oleh istrinya yang muslimah.

Penggunaan Hadits dha'if

Ketahuilah, bahwasanya dalam kitab ini terdapat banyak hadits Rasulullahu 'Alaihi wa Salam yang mulia, yang dicantumkan bersamaan dengan pembahasannya. Dalam kumpulan hadits tersebut terdapat hadits-hadits yang shahih, hasan, dha'if dan lainnya.

Akan kami jelaskan secara singkat tentang ketetapan ulama dalam permasalahan menggunakan hadits dha'if, dimana terdapat syarat-syarat yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab "Al-Ushul".

Telah dijelaskan secara terperinci dalam kitab "Al-Munhal Al-Lathif", bahwasanya hadits-hadits yang dha'if tidak diperkenankan untuk digunakan dalam menetapkan akidah dan hukum-hukum. Namun hadits yang dha'if itu boleh digunakan dalam rangka mencari keutamaan ataupun dalam memberikan ancaman, serta memberikan kabar gembira (memberi semangat) dan sebagai pengingat bagi jalan hidup kita (ketika kita lalai).

Hal ini telah disepakati oleh imam. Andaikan ada yag tidak sependapat, maka hal itu terdapat dalam masalah khilafiyah. Bersamaan dengan itu pula, bahwa hadits dha'if boleh digunakan , namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana diingatkan oleh Al-Hafidzh Ibn Hajar, antara lain syarat tersebut adalah:

  1. Hendaknya hadits yang dha'if ini digunakan untuk mencari keutamaan dalam beramal.
  2. Ke-dha'if-an hadits tersebut tidaklah terlalu dha'if. Maka tidak diperkenankan jika hadits tersebut adalah hadits yang palsu dan membingngkan karena kepalsuannya, serta hadits tersebut juga berasal dari orang yang buruk perangainya (tidak dipercaya jika ia telah meriwayatkan hadits).
  3. Hadits tersebut diamalkan bersamaan dengan apa yang dikerjakan.
  4. Tidak meng-i'tiqadkan ketika beramal dengan hadits tersebut. Yakni, bahwa hadits dha'if tersebut adalah sebuah ketetapan, namun diperkenankan untuk berjaga-jaga dengannya.
Inilah beberapa syarat yang dikatakan dapat menerima hadits yang dha'if dalam rangka mencari keutamaan (dalam beribadah). Seperti yang dikatakan oleh :

- Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab "At-Taqrib", serta
- Al-Iraqi dalam "Syarh" miliknya atas kitab "Alfiyah".
- Ibn Hajar Al-Atsqalani dalam "Syarh An-Nakhjah" juga bersikap sama.
- Asy-Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam "Syarh Alfiyah Al-Iraqi".
- Al-Hafidzh As-Suyuthi dalam kitab "At-Tadrib"
- Ibn Hajar Al-Maki dalam kitab "Syarh" miliknya pada bagian "Al-Arba'in".
- Al-'Allamah Al-Laknawi dalam sebuah risalah yang berjudul "Al-Ajubah Al-Fadhilah".

Disana terdapat pembahasan yang bermanfaat tentang permasalahan dimaksud (hadits dha'if). Juga pada sebuah risalah yang khusus ditulis dalam membahas hukum-hukum hadits dha'if, karya Al-Imam 'Alawi Al-Maliki Rahimahullah.