Jumat, 17 Desember 2010

Ahlul Bayt

Diantara bukti keimanan seorang muslim adalah mencintai ahlul bayt Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Salam, karena mencintai ahlul bayt merupakan salah satu pilar kesempurnaan iman seorang muslim. Dalam al-Qur'an, kata ahlul bayt ditemukan dalam tiga surat.
pertama, Surat Hud ayat 73, yang membicarakan kisah Nabi Ibrahim AS.
kedua, dalam surat al-Qashash ayat 12, yang membicarakan kisah Nabi Musa AS.
ketiga, dalam surat al-Ahzab ayat 33, yang membicarakkan ketentuan terhadap istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Salam.

Sebagai kata, ahlul bayt terbentuk dari ahl (keluarga, famili, kerabat, penghuni) dan bayt (rumah). Bagi masyarakat Arab pra-Islam, kata ini digunakan  untuk menunjukkan sebuah keluarga dari suatu suku. Sedangkan menurut istilah, kata ahlul bayt mengalami pengkhususan makna, yakni keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam dan keturunannya.

Ahlul bayt merupakan suatu topik yang banyak berkaitan dengan ajaran Islam. Secara hukum (fiqih), ahlul bayt tidak boleh menerima zakat, tapi boleh menerima harta ghanimah (harta rampasan perang). Para ulama ahlussunnah bersepakat tentang diharamkannya ahlul bayt menerima shadaqah, sebagaimana riwayat Imam Muslim dari Zaid bin Arqam, tatkala Husain bin Sibrah  ra bertanya kepada Zaid tentang ahlul bayt.
Dalam masalah fiqih lainnya, penyebutan ahlul bayt menjadi keharusan dalam pembacaan shalawat atas Nabi dalam shalat pada tahiyyat akhir. Di luar shalat, membaca shalawat dengan menyertakan keluarga (al-Muhammad) adalah anjuran utama.
Sedangkan dalam politik, ahlul bayt terkadang menjadi kunci dalam penentuan kepemimpinan, terutama dalam pandangan sekte Syi'ah.


Beragam Definisi Ahlul Bayt

Di kalangan salaf, yang digolongkan sebagai ahlul bayt adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Salam, Ali ra, Fathimah ra, Hasan ra, Husain ra, dan istri-istri Nabi SAW (ummahatul mu'minin). Pendapat ini berdasarkan hadits yang disandarkan kepada ummu Salamah yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Al-Hakim, Ibnu Mardawayh, dan Al-Baihaqi.
Makna keluarga Nabi ini pun meluas, tidak saja kepada keluarga Nabi yang terdekat, namun juga kerabat keluarga di kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthalib, seperti keluarga Ja'far, keluarga Aqil, keluarga Abbas, keluarga Bani Harits bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak-anak mereka. Jadi yang dimaksud ahlul bayt adalah:
1. Keluarga Ali ( sahabat Ali sendiri, Fathimah, Hasan dan Husain beserta anak keturunannya).
2. Keluarga Aqil (Aqil sendiri dan anaknya, yaitu Muslim bin Aqil beserta anak cucunya).
3. Keluarga Ja'far bin Abi Thalib (Ja'far berikut anak cucunya, yaitu Abdullah, Aus dan Muhammad).
5. Kel
4. Keluarga Abbas bin Abdul Muthalib (Abbas beserta sepuluh putranya, yaitu: Abdullah, Abdurrahman, Qutsam, Al-Harits, Ma'bad, Katsir, Aus, Tamam, dan putri-putrinya).
uarga Hamzah bin Abdul Muthalib ( Hamzah dan ketiga anaknya, yaitu: Ya'la, 'Imarah dan Umamah).
6. Para istri Nabi, tanpa terkecuali.

Sedangkan ahlul bayt menurut beberapa kalangan Syi'ah, hanyalah Ali ra, Fathimah ra, Hasan ra, Husain ra, beserta dengan Nabi SAW. Pandangan ini tak lepas dari faktor politik pasca wafatnya Rasulullah SAW. Namun, Muhammad Husein Thabathaba'i, seorang ulama Syi'ah kontemporer terkemuka, berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul bayt adalah: Seluruh keluarga Nabi berikut kerabat-kerabatnya, pandangan ini tak lepas dari urusan waris.

Muhammad Nashiruddin al-Albani berpendapat, bahwa yang dimaksud ahlul bayt adalah: para ulama, orang-orang shalih, serta orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab dan sunnah dari kalangan mereka (ahlul bayt).
Abu Ja'far Ath-Thahawi mengartikan "al-'itrah", dalam hadits tentang tsaqalain (dua hal yang berat/kukuh), adalah keluarga Nabi yang berkomitmen dan berpegang teguh dengan perintah Nabi SAW.
Syaikh Ali Al-Qari berpendapat, ahlul bayt adalah orang yang paling mengerti "ihwal shahibul bayt" (Rasulullah SAW) dan yang paling tahu hal ihwalnya. Maka yang dimaksud dengan ahlul bayt disini, adalah ahlul 'ilmi (ulama) dikalangan ahlul bayt yang mengerti seluk-beluk hidup Rasulullah SAW dan orang-orang yang menempuh jalan hidup beliau, serta orang-orang yang mengetahui  hukum dan hikmahnya.

Mengenai istri-istri Nabi, mereka termasuk golongan ahlul bayt, sebagaimana tafsir atas ayat yang berbunyi: "Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan kotoran dari kalian, wahai ahlul bayt, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya" (Al-Ahzab: 33). Semua istri Nabi SAW mempunyai hak yang sama dengan hak-hak ahlul bayt yang lain.
Ibnu Katsir berpendapat, orang yang memahami Al-Qur'an tidak akan ragu bahwa para istri Nabi SAW termasuk ke dalam ahlul bayt. Ini juga pendapat Imam Al-Qurtubi, Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, dan lainnya.
Ibnu Taimiyah berpendapat, hujjah atas para istri Nabi termasuk ahlul bayt, selain ayat diatas, juga karena adanya suatu riwayat Al-Bukhari yang menjelaskan bahwa, Nabi mengajari lafadz shalawat kepadanya dengan lafadz: "Ya Allah, berilah keselamatan atas Muhammad dan istri-istrinya serta anak keturunannya" (Riwayat Imam Bukhari pada kitab Syarh Fatkhul Bari, karya Al-Asqalani).

--000--

Selasa, 14 Desember 2010

Jin, Iblis dan Setan

Untuk memahami ketiga mahluk ghaib ini, jalan terbaik adalah menelusuri keterangan yang Allah SWT berikan tentang mereka, yaitu di dalam kitab suci al-Qur'an. Dalam al-Qur'an kata-kata jin, iblis dan setan disebutkan dibeberapa tempat.

Misalnya, dalam surat Ar-Rahman, saat Allah SWT menyeru jin dan manusia untuk menjelaskan nikmat-Nya kepada mereka yang menentukan balasan ukhrawi untuk mereka. Dalam surat itu, pertanyaan yang menakjubkan Fa biayyi ala-i rabbikuma tukadzdziban? (Maka, nikmat Tuhan kalian yang mana lagi yang kalian dustakan?) disebut berulang-ulang.

Terkait dengan hal ini, Nabi SAW memuji bangsa jin yang telah menjadi mukmin, ketika beliau membaca surah Ar-Rahman di hadapan para sahabatnya. Saat para sahabat terdiam, beliau bersabda: "Pada awalnya, jin lebih baik dari kalian. Setiap kali dibacakan firman Allah 'Maka, nikmat Tuhan kalian yang mana lagi yang kalian dustakan?', mereka mejawab: 'Tidak ada satupun nikmat-Mu yang kami dustakan, wahai Tuhan segala puji bagimu'."


Jin: Menerima Taklif

Secara bahasa, kata jin memiliki makna "sesuatu yang tersembunyi". Jin adalah sosok mahluk yang tersembunyi dari pandangan manusia. Kata itu pula yang menjadi asal kata janin, sosok tersembunyi dalam perut ibu.
Kata jinnah, yang artinya suatu keadaan ketika akal tertutup, seperti disebutkan dalam QS. Saba' ayat 46, dapat pula berarti jin, seperti dalam firman Allah: "Minal jinnati wan nas", dari golongan jin dan manusia (QS. An-Nas: 5).
Namun dalam pengertian syar'i, jin adalah sosok yang pintar, mukallaf, tidak terlihat, dapat berketurunan, ada sebelum manusia diciptakan, dan berasal dari materi yang tercita dari api. Allah SWT, berfirman:
"Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya (wa qabiluhu) melihat kalian dari suatu tempat yang kalian tidak dapat melihat mereka" (QS. al-A'raf: 27).
Makna kata "qabil" dalam ayat diatas, adalah bala tentara dan keturunan. Kemampuan jin dalam berketurunan sangat jelas, seperti disebutkan dalam ayat, "Di dalam surga ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin" (QS. ar-Rahman: 56).

Keterangan tentang awal penciptaan jin dan sifat materiilnya terdapat dalam firman Allah SWT: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas" (QS. al-Hijr: 26-27). Dalam ayat lain disebutkan, "Dia menciptakan jin dari nyala api" (QS. ar-Rahman: 15).
Kata-kata "api yang sangat panas" (nar as-samum) dalam surah al-Hijr, maksudnya adalah api yang tidak berasap sama sekali, saking panasnya. Makna ini juga sesuai dengan makna "nyala api" dalam surat ar-Rahman. Api, yang sangat panas dan bersih, yang tidak memiliki asap.

Awal penciptaan jin adalah api. Setelah diciptakan mereka mengalami berbagai perubahan, hingga mahluk ini tercipta secara utuh. Sebagaimana manusia, pada awal diciptakan, mereka terbuat dari tanah, kemudian mengalami perubahan.
Tentang "taklif" (pembebanan) syariat terhadap para jin, dalam al-Qur'an hal itu telah tertuang secara tegas, misalnya pada ayat yang berisi hikmah ciptaan Allah SWT, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56).

Surat Jin dalam al-Qur'an diterangkan, kaum jin mendengar lantunan al-Qur'an dan memahami maksudnya. Mereka beriman dan menyesali segala sesuatu yang telah mereka lakukan sebelum datangnya islam. Pada pembukaan surat tersebut (ayat 1-4). Allah SWT berfirman, "Katakanlah (hai Muhammad), telah diwahyukan kepadamu bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Qur'an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami. Dan bahwasannya maha tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. Dan bahwasannya orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah".

Ayat diatas dengan jelas menunjukkan bahwa jin hidup di sekitar kita, merekapun dibebani taklif seperti kita. Diantara mereka ada  yang mukmin dan kafir, mereka dapat memahami bahasa kita dan melihat kita, sementara kita tidak melihat mereka.
Allah SWT berfirman: "Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaiakan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata, 'Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri', kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir" (QS. al-An'am: 130).


Iblis: Permusuhan Abadi

Dalam literatur bahasa, kata "iblis" berasal dari bahasa non-Arab. Karena itu, kata ini termasuk kata yang tidak berderivasi, mamnu' min ash-sharf. Namun sebagian pendapat mengatakan, iblis berasal dari kata Arab "ablasa" (putus asa), atau "iblas" (patah hati dan bersedih). Dalam bahasa Arab, orang yang tengah diam bersedih diungkap dengan kalimat ablasa Fulan (si Fulan tengah diam bersedih).

Kata "Iblis" disebutkan al-Qur'an dalam kisah Nabi Adam AS. Allah memerintah malaikat dan iblis untuk sujud hormat kepada Adam, bukan sujud ibadah. Para malaikat segera memenuhi perintah Tuhannya, "Lalu seluruh malaikat itu sujud" (QS. Shad: 73). Tapi iblis menolak utnuk sujud, ia membuat analogi yang lemah demi melawan perintah Allah SWT, "aku lebih baik darinya, Kau ciptakan aku dari api, sementara Kau ciptakan dia dari tanah".

Sesungguhnya, tidak ada keunggulan yang terjadi dengan sendirinya. Semua hal tergantung pada pilihan dan kehendak Allah. Allah menegaskan, "Dan Tuhanmu mencipatakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha tinggi dari apa yang mereka perekutukan (dengan Dia)" (QS. al-Qashash: 68). Kemudian Allah mengusir iblis dan menempatkan Adam di surga.

Di dalam surga, Adam diperbolehkan emakan apa saja yang diinginkan kecuali buah dari satu pohon, yang konon buah itu bernama "Khuldi". Allah SWT berfirman, "Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim'." (QS. al-Baqarah: 35).
Setelah Adam berpisah dengan iblis, iblis mulai melakukan tipu dayanya untuk menjerumuskan Adam dalam maksiat. Iblis merayu Adam, bahwa pohon larangan itu memiliki keistimewaan yang dapat mendekatkan Adam kepada Tuhannya dan menjadikannya abadi di surga, hal tersebut sebagimana dikisahkan dalam QS. al-A'raf ayat 20-22.
Akhirnya, Adam (dan Hawa) terkena bujuk rayu iblis dan memakan buah pohon tersebut, hingga aurat mereka terbuka. Keduanya pun segera merasa telah melakukan kesalahan besar. Karena itu, mereka segera memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah dengan penuh penyesalan. "Keduanya berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi'." (QS. al-A'raf: 23).
Melihat kesungguhan dan ketulusan Adam dalam bertaubat, Allah SWT menerima taubatnya itu dan mengampuninya. Bahkan Allah memilihnya sebagai pengemban risalah-Nya. "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" (QS. al-Baqarah: 37).

Mengenai kaitan antara manusia dan iblis, perhatikanlah: Permusuhan antara Adam dan iblis adalah permusuhan abadi. Iblis sangat memusuhi dan membenci Adam. Segala tipu dayanya terus disebar kepada Adam dan seluruh anak cucunya. Allah SWT berfirman: "Iblis menjawab, 'Beri (waktu) tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan'.
Allah berfirman: 'Sesungguhnya engkau termasuk mereka yang diberi tangguh'.
Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)". (QS. al-A'raf: 14-17).


Setan: Hubungan Penuh Dosa

Dalam bahasa Arab, "setan" berarti "yang sombong dan penentang", baik dari kalangan manusia, jin, maupun binatang. Tak aneh, orang Arab terkadang  menyebut ular dengan setan.
al-Qur'an biasa menggunakan kata setan untuk menggambarkan sosok manusia dan jin yang suka menentang dan sombong, seperti dalam firman Allah SWT: "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan menengerjakannya. maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan".
Dimanapun, musuh para Nabi adalah sekelompok orang yang sombong dan congkak. Al-Qur'an berbicara satu contoh pertemuan antara setan, jin dan manusia yang menentang di jalan Allah. "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya al-Qur'an itulah yang haq dari Tuhan-mu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepada-Nya, dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus" (QS. al-Hajj: 52-54).

Kehidupan tidak pernah sepi dari rintangan, setan-setan dari kalangan jin dan manusia selalu menghalangi setiap upaya dakwah. Mereka mengganggu, menyebarkan fitnah, melakukan kerusakan di muka bumi, dan menghalangi perjuangan di jalan Allah SWT.
Hubungan antara "setan manusia" dan "setan jin", adalah hubungan penuh dosa dan kebencian, baik di dunia maupun di akhirat. Namun hubungan ini cenderung rapuh,. Suatu hari nanti, setiap kelompok akan lari dari kelompok yang lain, caci maki terjadi diantara mereka. Itu terjadi pada hari ketika segala penyesalan sudah tidak berguna lagi, dan mereka semua merasakan penyesalan yang mendalam.

Adapun bagi manusia yang ikhlas dalam berhubungan dengan-Nya, mereka cepat bersimpuh di hadapan kebesaran dan kekuasaan-Nya, setan terasa kecil dihadapan dzikir mereka. Godaannya menjadi lemah dan nyalinya menjadi ciut. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa bisikan setan, mereka ingat kepada Allah. Maka ketika itu juga, mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS. al-A'raf: 201). Karenanya, mengingat kepada-Nya adalah cara terbaik untuk mengatasi godaan setan, baik "setan jin" maupun "setan manusia".

Dari berbagai keterangan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sbb:
1. Iblis adalah moyang jin, sebagaimana Adam adalah moyang seluruh manusia.
2. Jin adalah mahluk mukallaf (dibebani syari'at) sebagaimana manusia, diantara mereka ada yang beriman dan adapula yang kafir.
3. Setan adalah mahluk yang sombong dan selalu berbuat kerusakan, baik dari kalangan jin maupun manusia.
4. Mahluk yang paling sombong adalah iblis, dan dia adalah setan terbesar dan yang pertama.

Minggu, 05 Desember 2010

Shalawat dan Do'a: Do'a Kalam Qodim

Shalawat dan Do'a: Do'a Kalam Qodim: "كلام قديم لا يمل سماعه , تنزه عن قول وفعل ونية به اشتفى من كل داء ونوره , دليل لقلبى عند جهلى وخيرتى فيا رب متعنى بسر حروفه ,ونور به قلبى و ..."

Jumat, 08 Oktober 2010

Penjagaan Iman Umat Muhammad

Terjaganya iman umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Salam, adalah sebuah bagian yang terbesar dan teragung. Hal ini dikarenakan, kita diperintahkan untuk beriman kepada semua kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Juga kita diperintahkan untuk beriman kepada seluruh Rasul yang telah diutus oleh Allah SWT, tanpa membedakan antara satu dengan lainnya.

Hal ini dibenarkan dengan firman Allah SWT, sebagai berikut:

سُوۡرَةُ البَقَرَة
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّن رُّسُلِهِۦ‌ۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا‌ۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ (٢٨٥)


285. Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." [QS. Al-Baqarah, 285].

Kitapun telah diperintahkan untuk berikrar, akan kebenaran keimanan dan keyakinan yang baik secara ucapan, serta meyakini akan firman-Nya.

سُوۡرَةُ البَقَرَة
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُ ۥ مُسۡلِمُونَ (١٣٦)


136. Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" [QS. Al-Baqarah, 136].

Yakni, anugerah keimanan terbesar yang diberikan Allah kepada kita, dimana mereka beriman kepada sebagian dan tidak (dituntut) kepada sebagian yang lain.

Dari makna ini dapat kita simpulkan, bahwasannya harga seorang muslim dalam sebuah timbangan adalah lebih tinggi dari pada umat yang lain. Hal ini disebabkan, bahwa keutamaan umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terletak pada keimanan mereka.

Dalam hal tersebut, maka seorang muslim laki-laki boleh menikahi perempuan ahli kitab. Sedangkan bagi seorang wanita muslimah tidak diperkenankan untuk menikahi pria yang bukan muslim. Hal ini disebabkan, bahwa iman wanita muslimah tersebut lebih utama dibandingkan iman suaminya yang bukan muslim. Karena iman suaminya lebih rendah ketimbang iman dari istrinya yang muslimah.

Hal ini memiliki makna lain dalam permasalahan tersebut, yaitu: Jika seorang muslim yang menikahi seorang wanita yang bukan muslimah, baik wanita itu nashrani maupun yahudi, dimana ketika sang istri menyebut Nabinya, maka sang suami akan bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi (yang istrinya sebutkan) , dengan penuh penghormatan serta keagungan dan kemliaan. Berbeda dengan seorang wanita muslimah yang menikahi pria yahudi maupun nashrani, jika sang istri menyebut nama Nabinya, yaitu Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka sang suami tidak akan menyukainya atau bahkan bisa mencaci maki sang istri. Atau paling tidak, sang suami yang bukan muslim itu tidak akan meridhai dan tidak pernah menerima apa yang dikatakan oleh istrinya yang muslimah.

Penggunaan Hadits dha'if

Ketahuilah, bahwasanya dalam kitab ini terdapat banyak hadits Rasulullahu 'Alaihi wa Salam yang mulia, yang dicantumkan bersamaan dengan pembahasannya. Dalam kumpulan hadits tersebut terdapat hadits-hadits yang shahih, hasan, dha'if dan lainnya.

Akan kami jelaskan secara singkat tentang ketetapan ulama dalam permasalahan menggunakan hadits dha'if, dimana terdapat syarat-syarat yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab "Al-Ushul".

Telah dijelaskan secara terperinci dalam kitab "Al-Munhal Al-Lathif", bahwasanya hadits-hadits yang dha'if tidak diperkenankan untuk digunakan dalam menetapkan akidah dan hukum-hukum. Namun hadits yang dha'if itu boleh digunakan dalam rangka mencari keutamaan ataupun dalam memberikan ancaman, serta memberikan kabar gembira (memberi semangat) dan sebagai pengingat bagi jalan hidup kita (ketika kita lalai).

Hal ini telah disepakati oleh imam. Andaikan ada yag tidak sependapat, maka hal itu terdapat dalam masalah khilafiyah. Bersamaan dengan itu pula, bahwa hadits dha'if boleh digunakan , namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana diingatkan oleh Al-Hafidzh Ibn Hajar, antara lain syarat tersebut adalah:

  1. Hendaknya hadits yang dha'if ini digunakan untuk mencari keutamaan dalam beramal.
  2. Ke-dha'if-an hadits tersebut tidaklah terlalu dha'if. Maka tidak diperkenankan jika hadits tersebut adalah hadits yang palsu dan membingngkan karena kepalsuannya, serta hadits tersebut juga berasal dari orang yang buruk perangainya (tidak dipercaya jika ia telah meriwayatkan hadits).
  3. Hadits tersebut diamalkan bersamaan dengan apa yang dikerjakan.
  4. Tidak meng-i'tiqadkan ketika beramal dengan hadits tersebut. Yakni, bahwa hadits dha'if tersebut adalah sebuah ketetapan, namun diperkenankan untuk berjaga-jaga dengannya.
Inilah beberapa syarat yang dikatakan dapat menerima hadits yang dha'if dalam rangka mencari keutamaan (dalam beribadah). Seperti yang dikatakan oleh :

- Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab "At-Taqrib", serta
- Al-Iraqi dalam "Syarh" miliknya atas kitab "Alfiyah".
- Ibn Hajar Al-Atsqalani dalam "Syarh An-Nakhjah" juga bersikap sama.
- Asy-Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam "Syarh Alfiyah Al-Iraqi".
- Al-Hafidzh As-Suyuthi dalam kitab "At-Tadrib"
- Ibn Hajar Al-Maki dalam kitab "Syarh" miliknya pada bagian "Al-Arba'in".
- Al-'Allamah Al-Laknawi dalam sebuah risalah yang berjudul "Al-Ajubah Al-Fadhilah".

Disana terdapat pembahasan yang bermanfaat tentang permasalahan dimaksud (hadits dha'if). Juga pada sebuah risalah yang khusus ditulis dalam membahas hukum-hukum hadits dha'if, karya Al-Imam 'Alawi Al-Maliki Rahimahullah.