Untuk memahami ketiga mahluk ghaib ini, jalan terbaik adalah menelusuri keterangan yang Allah SWT berikan tentang mereka, yaitu di dalam kitab suci al-Qur'an. Dalam al-Qur'an kata-kata jin, iblis dan setan disebutkan dibeberapa tempat.
Misalnya, dalam surat Ar-Rahman, saat Allah SWT menyeru jin dan manusia untuk menjelaskan nikmat-Nya kepada mereka yang menentukan balasan ukhrawi untuk mereka. Dalam surat itu, pertanyaan yang menakjubkan Fa biayyi ala-i rabbikuma tukadzdziban? (Maka, nikmat Tuhan kalian yang mana lagi yang kalian dustakan?) disebut berulang-ulang.
Terkait dengan hal ini, Nabi SAW memuji bangsa jin yang telah menjadi mukmin, ketika beliau membaca surah Ar-Rahman di hadapan para sahabatnya. Saat para sahabat terdiam, beliau bersabda: "Pada awalnya, jin lebih baik dari kalian. Setiap kali dibacakan firman Allah 'Maka, nikmat Tuhan kalian yang mana lagi yang kalian dustakan?', mereka mejawab: 'Tidak ada satupun nikmat-Mu yang kami dustakan, wahai Tuhan segala puji bagimu'."
Jin: Menerima Taklif
Secara bahasa, kata jin memiliki makna "sesuatu yang tersembunyi". Jin adalah sosok mahluk yang tersembunyi dari pandangan manusia. Kata itu pula yang menjadi asal kata janin, sosok tersembunyi dalam perut ibu.
Kata jinnah, yang artinya suatu keadaan ketika akal tertutup, seperti disebutkan dalam QS. Saba' ayat 46, dapat pula berarti jin, seperti dalam firman Allah: "Minal jinnati wan nas", dari golongan jin dan manusia (QS. An-Nas: 5).
Namun dalam pengertian syar'i, jin adalah sosok yang pintar, mukallaf, tidak terlihat, dapat berketurunan, ada sebelum manusia diciptakan, dan berasal dari materi yang tercita dari api. Allah SWT, berfirman:
"Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya (wa qabiluhu) melihat kalian dari suatu tempat yang kalian tidak dapat melihat mereka" (QS. al-A'raf: 27).
Makna kata "qabil" dalam ayat diatas, adalah bala tentara dan keturunan. Kemampuan jin dalam berketurunan sangat jelas, seperti disebutkan dalam ayat, "Di dalam surga ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin" (QS. ar-Rahman: 56).
Keterangan tentang awal penciptaan jin dan sifat materiilnya terdapat dalam firman Allah SWT: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas" (QS. al-Hijr: 26-27). Dalam ayat lain disebutkan, "Dia menciptakan jin dari nyala api" (QS. ar-Rahman: 15).
Kata-kata "api yang sangat panas" (nar as-samum) dalam surah al-Hijr, maksudnya adalah api yang tidak berasap sama sekali, saking panasnya. Makna ini juga sesuai dengan makna "nyala api" dalam surat ar-Rahman. Api, yang sangat panas dan bersih, yang tidak memiliki asap.
Awal penciptaan jin adalah api. Setelah diciptakan mereka mengalami berbagai perubahan, hingga mahluk ini tercipta secara utuh. Sebagaimana manusia, pada awal diciptakan, mereka terbuat dari tanah, kemudian mengalami perubahan.
Tentang "taklif" (pembebanan) syariat terhadap para jin, dalam al-Qur'an hal itu telah tertuang secara tegas, misalnya pada ayat yang berisi hikmah ciptaan Allah SWT, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56).
Surat Jin dalam al-Qur'an diterangkan, kaum jin mendengar lantunan al-Qur'an dan memahami maksudnya. Mereka beriman dan menyesali segala sesuatu yang telah mereka lakukan sebelum datangnya islam. Pada pembukaan surat tersebut (ayat 1-4). Allah SWT berfirman, "Katakanlah (hai Muhammad), telah diwahyukan kepadamu bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Qur'an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami. Dan bahwasannya maha tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. Dan bahwasannya orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah".
Ayat diatas dengan jelas menunjukkan bahwa jin hidup di sekitar kita, merekapun dibebani taklif seperti kita. Diantara mereka ada yang mukmin dan kafir, mereka dapat memahami bahasa kita dan melihat kita, sementara kita tidak melihat mereka.
Allah SWT berfirman: "Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaiakan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata, 'Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri', kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir" (QS. al-An'am: 130).
Iblis: Permusuhan Abadi
Dalam literatur bahasa, kata "iblis" berasal dari bahasa non-Arab. Karena itu, kata ini termasuk kata yang tidak berderivasi, mamnu' min ash-sharf. Namun sebagian pendapat mengatakan, iblis berasal dari kata Arab "ablasa" (putus asa), atau "iblas" (patah hati dan bersedih). Dalam bahasa Arab, orang yang tengah diam bersedih diungkap dengan kalimat ablasa Fulan (si Fulan tengah diam bersedih).
Kata "Iblis" disebutkan al-Qur'an dalam kisah Nabi Adam AS. Allah memerintah malaikat dan iblis untuk sujud hormat kepada Adam, bukan sujud ibadah. Para malaikat segera memenuhi perintah Tuhannya, "Lalu seluruh malaikat itu sujud" (QS. Shad: 73). Tapi iblis menolak utnuk sujud, ia membuat analogi yang lemah demi melawan perintah Allah SWT, "aku lebih baik darinya, Kau ciptakan aku dari api, sementara Kau ciptakan dia dari tanah".
Sesungguhnya, tidak ada keunggulan yang terjadi dengan sendirinya. Semua hal tergantung pada pilihan dan kehendak Allah. Allah menegaskan, "Dan Tuhanmu mencipatakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha tinggi dari apa yang mereka perekutukan (dengan Dia)" (QS. al-Qashash: 68). Kemudian Allah mengusir iblis dan menempatkan Adam di surga.
Di dalam surga, Adam diperbolehkan emakan apa saja yang diinginkan kecuali buah dari satu pohon, yang konon buah itu bernama "Khuldi". Allah SWT berfirman, "Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim'." (QS. al-Baqarah: 35).
Setelah Adam berpisah dengan iblis, iblis mulai melakukan tipu dayanya untuk menjerumuskan Adam dalam maksiat. Iblis merayu Adam, bahwa pohon larangan itu memiliki keistimewaan yang dapat mendekatkan Adam kepada Tuhannya dan menjadikannya abadi di surga, hal tersebut sebagimana dikisahkan dalam QS. al-A'raf ayat 20-22.
Akhirnya, Adam (dan Hawa) terkena bujuk rayu iblis dan memakan buah pohon tersebut, hingga aurat mereka terbuka. Keduanya pun segera merasa telah melakukan kesalahan besar. Karena itu, mereka segera memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah dengan penuh penyesalan. "Keduanya berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi'." (QS. al-A'raf: 23).
Melihat kesungguhan dan ketulusan Adam dalam bertaubat, Allah SWT menerima taubatnya itu dan mengampuninya. Bahkan Allah memilihnya sebagai pengemban risalah-Nya. "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" (QS. al-Baqarah: 37).
Mengenai kaitan antara manusia dan iblis, perhatikanlah: Permusuhan antara Adam dan iblis adalah permusuhan abadi. Iblis sangat memusuhi dan membenci Adam. Segala tipu dayanya terus disebar kepada Adam dan seluruh anak cucunya. Allah SWT berfirman: "Iblis menjawab, 'Beri (waktu) tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan'.
Allah berfirman: 'Sesungguhnya engkau termasuk mereka yang diberi tangguh'.
Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)". (QS. al-A'raf: 14-17).
Setan: Hubungan Penuh Dosa
Dalam bahasa Arab, "setan" berarti "yang sombong dan penentang", baik dari kalangan manusia, jin, maupun binatang. Tak aneh, orang Arab terkadang menyebut ular dengan setan.
al-Qur'an biasa menggunakan kata setan untuk menggambarkan sosok manusia dan jin yang suka menentang dan sombong, seperti dalam firman Allah SWT: "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan menengerjakannya. maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan".
Dimanapun, musuh para Nabi adalah sekelompok orang yang sombong dan congkak. Al-Qur'an berbicara satu contoh pertemuan antara setan, jin dan manusia yang menentang di jalan Allah. "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya al-Qur'an itulah yang haq dari Tuhan-mu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepada-Nya, dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus" (QS. al-Hajj: 52-54).
Kehidupan tidak pernah sepi dari rintangan, setan-setan dari kalangan jin dan manusia selalu menghalangi setiap upaya dakwah. Mereka mengganggu, menyebarkan fitnah, melakukan kerusakan di muka bumi, dan menghalangi perjuangan di jalan Allah SWT.
Hubungan antara "setan manusia" dan "setan jin", adalah hubungan penuh dosa dan kebencian, baik di dunia maupun di akhirat. Namun hubungan ini cenderung rapuh,. Suatu hari nanti, setiap kelompok akan lari dari kelompok yang lain, caci maki terjadi diantara mereka. Itu terjadi pada hari ketika segala penyesalan sudah tidak berguna lagi, dan mereka semua merasakan penyesalan yang mendalam.
Adapun bagi manusia yang ikhlas dalam berhubungan dengan-Nya, mereka cepat bersimpuh di hadapan kebesaran dan kekuasaan-Nya, setan terasa kecil dihadapan dzikir mereka. Godaannya menjadi lemah dan nyalinya menjadi ciut. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa bisikan setan, mereka ingat kepada Allah. Maka ketika itu juga, mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS. al-A'raf: 201). Karenanya, mengingat kepada-Nya adalah cara terbaik untuk mengatasi godaan setan, baik "setan jin" maupun "setan manusia".
Dari berbagai keterangan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sbb:
1. Iblis adalah moyang jin, sebagaimana Adam adalah moyang seluruh manusia.
2. Jin adalah mahluk mukallaf (dibebani syari'at) sebagaimana manusia, diantara mereka ada yang beriman dan adapula yang kafir.
3. Setan adalah mahluk yang sombong dan selalu berbuat kerusakan, baik dari kalangan jin maupun manusia.
4. Mahluk yang paling sombong adalah iblis, dan dia adalah setan terbesar dan yang pertama.