Rabu, 28 Desember 2011

MAJALAH ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

TOKO BUKU/KITAB/MULTIMEDIA ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

WEBSITE/BLOG ILMIAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Selasa, 27 Desember 2011

WEBSITE INDAHNYA ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


    PONDOK PESANTREN/MA’HAD/MADRASAH/LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

    Senin, 26 Desember 2011

    MAJELIS-MAJELIS AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

    WEBSITE PARA ULAMA/IMAM/SYEIKH/HABIB/KYAI/DAI/USTADZ AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


    Kamis, 22 Desember 2011

    Firanda, Fitnah dan Tipu Daya Gaya Salafi Wahabi (2)

     Firanda lagi-lagi Berdusta Atas Nama Ulama, Ibnu Hajar Jadi Korban Kedustaan Firanda

    Firanda sebagaimana para Wahabiyyin yang lain, bencinya kepada kuburan benar-benar sulit ditolong. Saking bencinya sampai-sampai Firanda (Wahabi)  dengan sepenuh hawa nafsunya melarang shalat di masjid yang masjid itu terdapat kuburan. Padahal masjid-masjid di Jakarta banyak terdapat kuburan di dekatnya. Dalil yang menjadi andalan mereka melarang shalat di masjid yang terdapat kuburan adalah: “Jangan jadikan kuburan sebagai masjid”. Ujung-ujungnya  dan yang menjadi  intinya adalah mereka sangat benci kepada peziarah kubur dan menyebut para peziarah kubur itu sebagai Penyembah Kuburan. Jangankan terhadap kuburan para Sholihin, bahkan kepada kuburan Nabi Saw pun ummat Islam dilarang menziarahinya.
    Ziarah kubur diidentikkan dengan kesyirikan sehingga mereka dengan kejahilannya menyebut para muslim peziarah sebagai orang-orang musyrik (Penyembah Kuburan), na’udzu billah mindzaalik.
    Nah di bawah ini adalah bantahan dari Ibnu Abdillah Al Katiby atas artikel Firanda yang penuh dusta tentang seputar kuburan. Yuk, kita simak dusta-dusta Firanda yang dikoreksi secara ilmiyyah oleh seorang Pembela Ajaran Islam dari Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA) ….

    Penipuan Firanda Terhadap Umat dan Kedangkalannya di dalam Memahami Nash Hadits dan Ucapan Para Ulama  (Bag. II)



    Pada artikel sebelumnya kita sudah ketahui sedikit dari banyaknya penipuan dan kedangkalan Firanda serta penyalahgunaannya terhadap ucapan-ucapan para ulama dan hadits-hadits Nabi Saw. Kali ini kelanjutan dari penipuan dan penyalahgunaannya terhadap ucapan ulama dan hadits Nabi Saw sebagai sanggahannya kepada habib Mundzir Al-Musawa.

    Firanda berkata :
    Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.

    Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :

    وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟

    “Dan apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi’I dan An-Nawawi) dalam (*bab) janaa’iz : “Dibencinya membangun di atas kuburan”, akan tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat : “Dibolehkannya berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut”. Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan : “Tidak ada kontradikisi (*dalam perkataan mereka berdua)”, maka bagaimana mengkompromikan antara dua perkataan tersebut?  (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)

    Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :

    الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ

    “Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya.
    (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)

    Jawaban :
    Lagi-lagi Firanda menipu umat dengan menukil ucapan imam Ibnu Hajar al-Haitami Rahimahullah. Firanda berasumsi dan membuat kesimpulan yang salah dengan ucapan Imam Ibnu Hajar tersebut bahwa beliau melarang membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.
    Benarkah Imam Ibnu Hajar berpendapat seperti itu ? Jawabannya sunnguh tidak sama sekali.
    Mari kita simak penjelasannya :
    Ketika seseorang bertanya kepada imam Ibnu Hajar tentang kesepakatan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap kemakruhan membangun di atas kuburan namun di kesempatan lain Imam Nawawi dan Imam Rafi’i bersepakat Dibolehkannya berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut, apakah dua ucapan ini saling kontradiksi?

    Imam Ibnu Hajar menjawab :

    الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ

    “Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum).
    Sanggahan :
    Kalimat al-Maqbarah al-Musabbalah inilah yang dibuang pemahamannya oleh firanda. Ia hanya sekedar menulis dan menukil namun pemahaman yang dimaksud oleh imam Ibnu Hajar ditolaknya mentah-mentah. Maka firanda telah menyalahgunakan ucapan imam Ibnu Hajar al-Haitami.
    Dalam madzhab Syafi’I Rahimahullah ada beberapa hukum membangun bangunan di maqbarah (pekuburan).
    Yang pertama hukum al-bina (bangunan) di tanah kubur milik sendiri, maka hukumnya ada ulama yang mengatakan makruh dan ada juga yang berpendapat jawaz (boleh/tidak makruh).
    Imam Ibnu Hajar membolehkan membangun semisal qubbah bagi kuburan orang sholeh bahkan beliau menilai itu sebuah qurbah (pendekatan diri kepada Allah).
    Yang kedua hukum al-bina di pekuburan musabbalah (pekuburan yang telah dibiasakan oleh warga untuk mengubur warga setempat yang meninggal), maka hukumnya diperinci :
    - Jika si mayat yang dikubur itu orang biasa, maka hukum membangun sesuatu di atas kuburan tsb adalah haram dan wajib dihancurkan.
    - Jika si mayat yang dikubur itu orang sholeh, maka hokum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut hukumnya boleh. Ada pula yang berpendapat tidak boleh dan ini dipelopori  oleh imam Nawawi dan diikuti imam Ibnu Hajar al-Haitami.
    Simak penjelasan berikut ini :

    Imam Nawawi berkata :
    ويكره تجصيص القبر، والبناء والكتابة عليه، ولو بني في مقبرة مسبلة هدم

    “ Dan dimakruhkan memplester kuburan juga makruh membuat tulisan (selain untuk nama pengenal, pent) atasnya. Dan apabila membangun suatu bangunan di pekuburan musabbalah, maka bangunan itu dihancurkan “.
    (Minhaj ath-Thalibin: 1/360)
    Dalam kitab yang lain imam Nawawi berkata :

    قال أصحابنا رحمهم الله : ولا فرق فى البناء بين أن يبنى قبة أو بيتا أو غيرهما ، ثم ينظر فإن كانت مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك ، قال أصحابنا ويهدم هذا البناء بلا خلاف… وإن كان القبر فى ملكه جاز بناء ما شاء مع الكراهة ولا يهدم عليه

    “ Berkata sahabat-sahabat kami Rahimahumullah “ Tidak ada perbedaan di dalam bangunan antara bangunan qubbah, rumah atau selainnya. Kemudian dilihat, jika pekuburan itu pekuburan musabbalah, maka semua itu diharamkan.
    (Al-Majmu’: 5/260)
    Beliau juga berkata dalam kitab tahdzibnya :

    ودفن فى البقيع ـ يعنى إبراهيم ابن رسول الله ـ وقبره مشهور ، عليه قبة فى أول البقيع

    “ Dan dimakamnkan yakni Ibrahim putra Rasulullah Saw di pekuburan Baqi’, kuburannya masyhur dan di atasnya dibangun qubah pada saat permulaan Baqi’ “
    (Tahdzib Al-Asma juz 1 hal : 116)
    Asy-Syaikh Al-Faqih al-Malibari berkata :

    (وكره بناء له) أي للقبر ، (أو عليه) لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل. ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه. فإن كان بناء نفس القبر بغير الحاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهى ما اعتاده أهل البلد الدفن فيها ، عرف أصلها ومسبلها أم لا ، أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ، ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.
    وقال البجيرمي: واستثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم.

    “ Makruh hukumnya membuat bangunan bagi kuburan berdasarkan Hadits Nabi Saw yang shahih, Tanpa ada keperluan seperti takut dibongkar orang, ata hewan buas atau hancur karena banjir. Letak kemakruhan membangun bangunan di atas kuburan adalah jika tanhnya milik pribadi. Jika membangun itu tanpa ada keperluan seperti yang berlalu atau semisal qubah di pekuburan musabbalah yaitu kebiasan warga mengubur mayat setempat di tanah itu baik diketahui asal dan musabbilnya atau tidak, atau pekuburan wakaf, maka hukumnya haram dan wajib dirobohkan sebab bangunan itu akan tetap ada walaupun si mayat sudah hancur sehingga menyebabkan penyempitan tempat pada warga muslim lainnya yang bangunan itu tidak ada tujuannya “
    Al-Imam al-Bujairomi berkata “ Sebagian ulama mengecualikan juga pembangunan kuburan milik para nabi, syuhada, orang-orang shalih dan sejenisnya “.
    (I’aanah at-Thoolibiin II/136)

    Al-‘Allamah asy-Syeikh Ibrahim al-Baijuri Rahimahullah pula berkata:

    فيكره البناء عليه إن كان في غير نحو المقبرة المسبلة للدفن فيها وإلا حرم سواء كان فوق الأرض أو في باطنها ، فيجب على الحاكم هدم جميع الأبنية التي في القرافة المسبلة للدفن فيها وهي التى جرت عادة أهل البلد بالفن فيها لأنه يضيق على الناس ، ولا فرق بين أن يكون البناء قبة أو بيتا أو مسجدا أو غير ذلك ، ومنه الأحجار المعروفة بالتركيبة ، نعم استثناها بعضهم للأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم.

    “ Maka dimakruhkan membangun di atas kuburan jika di selain pekuburan musabbalah. Dan jika di pekuburan musabbalah (atau mauqufah), maka haram hukumnya, baik di atas tanahnya atau di dalamnya. Maka wajib bagi hakim untuk merubuhkan seluruh bangunan yang ada di pekuburan musabbalah, (musabbalah) yaitu kebiasaan warga setempat untuk mengubur mayat di dalamnya. (keharaman hal) karena akan membuat penyempitan tempat bagi calon mayat lainnya. Tidak ada perbedaan antara bangunan bentuk qubah, rumah, masjid atau lainnya. Di antaranya juga bangunan yang dikenal dengan susunan batu berbentuk segi empat di sekitarnya. Ya, sebagian ulama mengecualikan (artinya boleh dan tidak haram) membangun bangunan di kuburan para Nabi, syuhada, orang sholeh dan semisal mereka “.
    (Hasyiyah al-Baijuri ‘ala Ibn Qasim: 1/381)

    Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata :

    ( ولو بنى ) نفس القبر لغير حاجة مما مر كما هو ظاهر أو نحو تحويط أو قبة عليه خلافا لمن زعم أن المراد الثاني وهل من البناء ما اعتيد من جعل أربعة أحجار مربعة محيطة بالقبر مع لصق رأس كل منها برأس الآخر بجص محكم أو لا لأنه لا يسمى بناء عرفا والذي يتجه الأول لأن العلة السابقة من التأبيد موجودة هنا ( في مقبرة مسبلة ) وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا ومثلها بالأولى موقوفة بل هذه أولى لحرمة البناء فيها قطعا قال الإسنوي واعترض بأن الموقوفة هي المسبلة وعكسه ويرد بأن تعريفها يدخل مواتا اعتادوا الدفن فيه فهذا يسمى مسبلا لا موقوفا فصح ما ذكره ( هدم ) وجوبا لحرمته كما في المجموع لما فيه من التضييق مع أن البناء يتأبد بعد انمحاق الميت فيحرم الناس تلك البقعة.

    “ (Seandainya membangun) di atas kuburan tanpa hajat seperti yang berlalu (khawatir dicuri, atau digali binatang buas, pent) atau membuat pagar atau qubah, berbeda dengan pendapat yang mengatakan maksud adalah yang kedua, dan apakah bangunan batu segi empat yang mengelilingi kuburan juga termasuk katagori bangunan ? karena itu bukan dinamakan bangunan secara umum, namun pendapat yang dipilih adalah yang pertama (masuk kategori bangunan, pent) karena illatnya yaitu pengekalan terdapat dalam hal itu. (Di pekuburan musabbalah) yaitu apa yang ditradisikan warga setempat untuk mengubur mayat di sana walaupun musabbil dan asalnya diketahui atau tidak, semisal itu juga terutama tanah pekuburan wakaf karena keharaman membangun di dalamnya secara pasti. Al-Asnawi berbede pendapat, beliau mengatakan bahwa pekuburan wakaf juga disebut pekuburan musabbalah dan sebaliknya dan telah dating definisinya bahwa bahwa musabbalah adalah yang masuk juga tanah mawat (tak ada pemiliknya) yang dibiasakan mengubur mayat, maka ini disebut pekuburan musabbalah bukan wakaf.  Maka sah apa yang beliau sebutkan. (Maka dirobohkan) hukumnya wajib karena keharamannya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu’. Disebabkan akan mempersempit tempat bagi lainnya dan bangunan akan terus ada setelah hancurnya mayat sehingga tanah itu mencegah yang lainnya.
    (Tuhfah al-Muhtaj bab Janaiz juz 3 hal : 198)

    Dalam kesempatan lain di bab wasiat beliau berkata :

    وإذا أوصى لجهة عامة فالشرط أن لا يكون معصية .. الى أن قال وشمل عدم المعصية القربة كبناء مسجد ولو من كافر ونحو قبة على
    قبر عالم في غير مسبلة

    “ Dan jika ia berwasiat secara umum, maka syaratnya adalah bukan hal yang diharamkan….(hinga beliau berkata, pent) “ Dan masuk juga perkara selain haram yaitu al-Qurbah (ibadah yang mendekatkan diri pada Allah) seperti membangun masjid walaupun dari orang kafir, juga semisal qubah di atas kuburan di pekuburan selain musabbalah “.
    (Tuhfah al-Muhtaj kitab al-Washoya)

    Sayyid Thahir bin Muhammad Al-Alawi mengomentari ucapan imam Ibnu Hajar tersebut sebagai berikut :

    وإنما جعل ابن حجر وغيره القبة على الولي في غير المسبلة والموقوفة قربة لأن العلماء نصوا على أن تمييز العالم والصوفي حياً وميتاً مطلوب أخذا من قوله في حق نساء النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ( يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا
    يؤذين ) وقد علمت أن القبة من عصور وقرون عليهم وعلى الأنبياء ( عليهم السلام )

    “ Sesungguhnya Ibnu Hajar dan selainnya menjadikan qubah bagi (kuburan) seorang wali di pekuburan selain musabbalah sebagai bentuk qurbah, karena para ulama menetapkan bahwa membedakan orang alim dan shufi baik masih hidup ataupun sudah wafat (dari yang lainnya) adalah mathlub (dituntut) mengambil hokum (qiyas) dengan firman Allah Swt mengenai para istri Nabi Saw :

    يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يُعرفن فلا يُؤذين

    “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “.
    Dan kamu telah mengetahui bahwa qubah sudah ada sejak dari masa ke masa dari para wali dan para Nabi ‘alaihimu salam “.

    Kesimpulan :
    - Jawaban imam Ibnu Hajar al-Haitami kepada si penanya adalah berkaitan pembangunan yang ada di tanah kuburan yang musabbal (bukan milik pribadi).
    - Adapun tanah kuburan milik pribadi maka beliau dan imam Nawawi serta yang lainnya menghukuminya makruh itu pun jika tidak ada hajat, jika ada hajat seperti khawatir dicuri, atau digali binatang buas atau kebanjiran, maka hukumnya boleh alias tidak makruh. Seperti yang telah dijelaskan di atas.
    - Imam Nawawi dan Ibnu Hajar sepakat dibolehkannya membangun qubah di kuburan Nabi, syuhada, wali dan orang sholeh di pekuburan selain musabbalah dan mauqufah sebagaimana telah berlalu penjelesannya.
    - Maka Firanda telah menyalah gunakan ucapan imam Nawawi dan imam Ibnu Hajar tentang hal ini bahwa Firanda mengklaim kedua imam tersebut melarang membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin. Dan seolah ingin membuat kesan bahwa kedua ulama besar tersebut berpaham wahhabi.
    - Namun terbukti semua anggapan Firanda salah, dan saya tidak tahu mengapa Firanda berbuat demikian, entah memang sengaja menipu umat dari maksud yang sebenarnya atau memang Firanda dangkal pikirannya di dalam memahami ucapan para ulama dan hadits-hadits Nabi Saw. Wallahu a’lam….

    Sumber: ummatipress.com

    Firanda, Fitnah dan Tipu Daya Gaya Salafi Wahabi (1)

    Firanda Antara Fitnah dan Tipu Daya Gaya Wahabi

    Firanda dengan kacamata kudanya mencoba mencari-cari kesalahan Habib Munzir. Entah dendam kesumat macam apa yang berkecamuk dalam hatinya sehingga membuatnya melakukan tindakan membabi buta tabrak sana tabrak sini menyangkut Habib Munzir. Bahkan karena tidak menemukan kesalahan Habib Munzir, Firanda berlagak seolah-olah kesalahan sudah ditemukannya pada Habib Munzir. Meniru gaya ulama paling tahu agama  Firanda berfatwa (baca: ngoceh)  ngalor-ngidul sepenuh hawa nafsunya di situs pribadinya Firanda.Com.

    Apakah yang dikatakan Firanda itu kebenaran, fitnah atau sekedar dusta plus kejahilan yang dipoles dengan jargon ILMIYYAH ala Wahabi? Untuk mendapat jawabannya, mari kita ikuti pemaparan Ibnu Abdillah Al Katiby tentang kejahilan dan penipuan Firanda kepada ummat Islam berikut ini. Semoga setelah membacanya anda dapat mengetahui duduk persoalan dari apa-apa yang dibicarakan oleh Firanda. Ternyata Firanda tidak lebih adalah seorang manusia pendusta, jahil pemahamannya terhadap hadits-hadits dan perkataan ulama sehingga Firanda menjadi penipu Ummat Islam….

    Penipuan Firanda Terhadap Umat dan Kedangkalannya di dalam Memahami Nash Hadits dan Ucapan Para Ulama  ( Bag. I)


    Firanda merasa bangga seolah telah menggapai cita-cita besarnya selama ini karena merasa telah berhasil mematahkan argumentasi Habib Mundzir terkait persoalan seputar kuburan. Merasa paling alim, paling pandai atas semua ucapan para Ulama Syafi’iyyah. Padahal argumentasinya penuh penipuan dan kedangkalan cara berpikirnya terhadap Hadits-Hadits Nabi Saw dan ucapan para Ulama Ahlus sunnah.
    Sebentar lagi kita akan ketahui penipuan Firanda dan kedangkalan pikirannya terhadap Hadits-hadits Nabi Saw dan ucapan para ulama yang dia sebutkan dalam artikelnya tersebut dalam situsnya : http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187
     
    Firanda berkata :
    Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.
     
    Jawaban :
    Terlihat jelas kedangkalan Firanda di dalam memahami ucapan imam Baidhawi tersebut. Imam Baidhawi sama sekali tidak menghalalkan menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat peribadatan, karena sudah jelas nash hadits yang melarangnya :

    لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

    Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.

    Beliau memang mengharamkan menjadikan kuburan sebagai masjid yang di atasnya dibuat tempat ibadah dan sholat di atasnya.
    Yang diperbicangkan oleh imam Baidhawi adalah di luar ancaman hadits tersebut yaitu menjadikan masjid di samping kuburan orang yang shalih, perhatikan ucapan beliau berikut :

    قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا

    لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه

    Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya. 
     
    Catatan :
    Beliau berpendapat tidak membolehkan dan haram menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan, yang mereka agungkan dengan bersujud pada kuburan dan menjadikan kuburan itu sebagai arah qiblat.
    Dan lihatlah kelanjutan ucapan beliau tersebut berikut ini :

    أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .

    والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

    Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis
     
    Catatan :
    Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.
    Jelas sekali hal ini di luar dari ancaman hadits Nabi Saw di atas. Maka terbukti si firanda tidak pandai memahami ucapan imam Baidhawi ini. Dan telah berbohong pada umat atas ucapannya bahwa pendapat imam Baidhawi menyelisihi hadits.
     
    Firanda juga berkata :
    Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafi’i. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang “hobi” memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii.
     
    Jawaban :
    Firanda memahami ucapan imam Baidhawi bertentangan dengan kesepakatan ulama besar madzhab syafi’i, sebab kebodohannya di dalam memahami ucapan imam Baidhwi tersebut dan para ulama lainnya.
    Kita perhatikan berikut ini :

     واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على كراهة بناء مسجد على القبر سواء كان الميت مشهورا بالصلاح أو غيره ، لعموم الأحاديث ، قال الشافعي والأصحاب : وتكره الصلاة إلى القبور ، سواء كان الميت صالحا أو غيره قال الحافظ أبو موسى : قال الإمام أبو الحسن الزعفراني رحمه الله : ولا يصلى إلى قبره ، ولا عنده تبركا به وإعظاما له للأحاديث ، والله أعلم

    “Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafi’iyah) atas kemakruhan membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Asy-Syafi’i dan para Ash-haab berkata, ” Dan dimakruhkan sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak”. Al-Haafizh Abu Musa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimhullah : “Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam”. ( Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289 )
    Catatan :
    Jelas imam Syafi’i dan ulama syafi’iyyah hanya memakruhkan membangun masjid di atas kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Dan juga makruh sholat menghadap kuburan baik kuburan orang sholeh atau bukan. Namun lain persoalan jika sholat di samping kuburan orang sholeh, maka para ulama syafi’I sepakat dengan imam Baidhawi yaitu membolehkannya. Kecuali imam Abul Hasan az-Za’farooni.
    Imam Baidhwai dan imam Syafi’I juga para ulama syafi’i sepakat bahwa MAKRUH (TANZIH) hukumnya sholat di pekuburan bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya..
    Simak kelanjutan ucapan imam Baidhawi berikut :

    والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

    “ Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis. “
    Huruf  ‘lam’ dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.
    Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Beliau berkata :

    وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة

    “Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini.“
    Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat di pekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.
    Pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitsami (ulama syafi’iyyah) :

    وقال ابن حجر : أشار الشارح إلى استشكال الصلاة عند قبر إسماعيل ، بأنها تكره في المقبرة ، وأجاب : بأن محلها في مقبرة منبوشة لنجاستها ، وكله غفلة عن قولهم : يستثنى مقابر الأنبياء ، فلا يكره الصلاة فيها مطلقا ; لأنهم أحياء في قبورهم

    Ibnu Hajar berkata: “ Pensyarah berisyarat pada kemusykilan sholat di sisi kuburan Nabi Ismail bahwa makruh sholat di pekuburan. Dan beliau menjawabnya “ Letak kemakruhannya adalah di pekuburan yang tergali karena kenajisannya. Semua itu kelalaian dari ucapan mereka: “ Dikecualikan (sholat) di pekuburan para nabi, maka tidaklah dimakruhkan sholat di dalamnya secara muthlaq sebab para nabi itu hidup di dalam kuburan mereka “.
    Dan disebutkan pula dalam kitab Mirqatil mafatih syarh Misykatul Mashabih berikut:

    وفي شرح السنة : اختلف في الصلاة في المقبرة فكرهها جماعة ، وإن كانت التربة طاهرة والمكان طيبا ، واحتجوا بهذا الحديث والذي بعده ، وقيل : بجوازها فيها ، وتأويل الحديث أن الغالب من حال المقبرة اختلاط تربتها بصديد الموتى ولحومها ، والنهي لنجاسة المكان ، فإن كان المكان طاهرا فلا بأس ، وكذلك المزبلة والمجزرة وقارعة الطريق ، وفي القارعة معنى آخر ، وهو أن اختلاف المارة يشغله عن الصلاة ، قال ابن حجر : وقد صح أنه عليه الصلاة والسلام نهى عن الصلاة بالمقبرة ، واختلفوا في هذا النهي هل هو للتنزيه أو للتحريم ؟ ومذهبنا الأول ، ومذهب أحمد التحريم

    “ Di dalam syarh sunnah “ para ulama berbeda pendapat tentang hokum sholat dipekuburan, maka sebagian kelompok ulama memakruhkannya, walaupun tanahnya suci dan tempatnya baik, mereka berhujjah dengan hadits tersebut dan hadits setelahnya. Ada juga pendapat (qila) Boleh (tidak makruh) sholat di pekuburan dan menakwilkan hadits bahwa umumnya kedaan pekuburan itu bercampurnya tanah dengan nanah dan daging si mayat sedangkan larangan itu karena kenajisan tempatnya, jika tempatnya suci maka tidklah mengapa (sholat di dalamnya). Demikian juga tempat pembuangan sampah, penjagalan dan tempat jalan manusia, dan khusus tempat jalan ada alasan lainnya yaitu lalu lalangnya orang yang lewat dapat mengganggu kekhusyu’an sholat. Ibnu Hajar berkata “ Sungguh telah shahih bahwasanya Nabi Saw melarang sholat di pekuburan, namun para ulama berbeda pendapat dalam sifat pelarangannya, apakah larangannya bersifat tanzih (makruh tanzih) atau tahrim (makruh tahrim) ? Madzhab kami (madzhab syafi’i) adalah memilih yang pertama (yaitu MAKRUH TANZIH) sedangkan madzhab imam Ahmad memilih makruh tahrim “.
    Imam Ibnu hajar menegaskan pada kita bahwa madzhab syafi’I menghukumi makruh tanzih sholat di pekuburan dan cukuplah beliau mewakili pendapat para ulama syafi’iyyah dalam kemakruhan (tanzih) sholat dipekuburan.
     
    Imam Al-Qoori juga berkata masih dalam kitab Mirqah tersebut :

      وقيد ” عليها ” يفيد أن اتخاذ المساجد بجنبها لا بأس به ، ويدل عليه قوله عليه السلام : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد

    “ Nabi menggunakan kalimat  ‘alaiha (di atas) memberikan faedah  bahwa menjadikan masjid di sampingnya tidaklah mengapa. Dan menunjukkan atas yang demikian itu sabdanya Nabi Saw : Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid.“
     
    Pendapat Imam Syarbini (Ulama Syafi’iyyah):

    و قال العلامة الشربيني : والمقبرة (أي تكره) بتثليث الباء (الطاهرة) لغير الأنبياء صلى الله عليهم وسلم بأن لم يتحقق نبشها أو تحقق وفرش عليها حائل. (والله أعلم) للخبر السابق مع خبر مسلم {لا تتخذوا القبور مساجد} أي أنهاكم عن ذلك وصح خبر {لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها} وعلته محاذاته للنجاسة سواء ما تحته أو أمامه أو بجانبه نص عليه في الأم ومن ثم لم تفترق الكراهة بين المنبوشة بحائل وغيرها ولا بين المقبرة القديمة والجديدة بأن دفن فيها أول ميت بل لو دفن ميت بمسجد كان كذلك , وتنتفي الكراهة حيث لا محاذاة وإن كان فيها لبعد الموتى عنه عرفا أما مقبرة الأنبياء فلا تكره الصلاة فيها لأنهم أحياء في قبورهم يصلون فلا نجاسة.

    اهـ

    Al-Allamah Asy-Syarbini berkata: “ Dan pekuburan yang suci maksudnya makruh sholat di dalamnya, selain pekuburan para nabi sekiranya bongkaran kuburannya tidak nyata atau terbongkar namun dibebrkan penghalang di atasnya. Wallahu a’lam karena ada hadits yang berlalu dan bersama hadits riwayat Muslim berikut “ Janganlah kalian  menjadikan kuburan sebagai masjid “ artinya aku melarang kalian tas yang demikian itu. Dan juga ada hadits shahih “ Janganlah duduk di atas kubura dan jangn pula sholat menghadapnya. Illat (sebab pelarangan) adalah karena SEJAJAR DENGAN NAJIS baik apa yang ada di bawahnya, depan atau sampingnya, hal ini telah di tetapkan dalam kitab al-Umm (karya imam Syafi’i). dari sanalah kemakruhan tidak berbeda bai antara kuburan yang terbongkar, dengan penghalang atau pun tidak, juga antara kuburan yang lama maupun kuburan yang baru sekiranya dikubura mayat pertama kali bahkan seandainya mayat dikubur di dalam masjid maka juga demikian hukumnya.
    Dan menjadi hilang hukum kemakruhannya jika tidak sejajar dengan najis walaupun berada di dalam pekuburan, karena jauhnya dari orang-orang yang mati secara umum. Adapun pekuburan para nabi maka tidaklah makruh sholat di dalamnya karena mereka hidup di dalam kuburannya dan sholat, maka tidaklah menjadi najis “.
     
    Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya berkata :

    وممن كره الصلاة في المقبرة  سواء كانت لمسلمين أو مشركين الثوري وأبو حنيفة والأوزاعي والشافعي وأصحابهم وعند الثوري لا يعيد وعند الشافعي أجزأه إذا صلى في المقبرة في موضع ليس فيه نجاسة للأحاديث المعلومة في ذلك ولحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال صلوا في بيوتكم ولاتتخذوها قبورا ولحديث أبي مرثد الغنوي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا تصلوا إلى القبور ولاتجلسوا عليها وهذان حديثان ثابتان من جهة الإسناد ولاحجة فيهما لأنهما محتملان للتأويل ولايجب أن يمتنع من الصلاة في كل موضع طاهر إلا بدليل لا يحتمل

    )ج 10 ص 48-51

    “ Di antara ulama yang memakruhkan sholat di pekuburan baik kuburan muslimin atau musyrikin adalah imam Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Awza’i, imam Syafi’i dan para ulama syafi’iyyahnya. Menurut imam Sufyan ats-Tsauri tidak perlu mengulangi lagi (sholatnya yang dilakukan di pekuburan). Menurut imam Syafi’i boleh sholat di pekuburan jika di tempat yang tidak ada najisnya Karena hadits-hadits yang telah diketahui dalam hal ini dank arena hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “ Sholatlah di rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Juga karena ada hadits riwayat Abi Martsad al-Ghonawi dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda “ Janglah kalian sholat menghadap kuburan dan jangan duduk di atasnya. Dua hadits ini stabit dari sisi isnadnya dan tidak bisa diuat hujjah kedua hadits tsb karena mengandung kemungkinan adanya takwil dan tidak wajib melarang sholat di setiap tempat yang suci kecuali dengan dalil yang tidak mengandung takwil “.
     
    Sekarang kita simak pendapat Imam Syafi’i sendiri dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman : 92 berikut ini :

    والمقبرة الموضع الذي يقبر فيه العامة ؛ وذلك كما وصفت مختلطة التراب بالموتى ، وأما صحراء لم يقبر فيها قط ، قبر فيها قوم مات لهم ميت ، ثم لم يحرك القبر فلو صلى رجل إلى جانب ذلك القبر أو فوقه ، كرهته له ولم آمره يعيد ؛ لأن العلم يحيط بأن التراب طاهر ،

    لم يختلط فيه شيء ، وكذلك لو قبر فيه ميتان أو موتى “

    “ Dan pekuburan adalah tempat pengkuburan untuk umum. Demkian itu sebagaimana aku telah sifatkan yaitu bercampur dengan mayat-mayat. Adapun padang sahara, tidak ada satupun kuburan di dalamnya yang jika satu kaum kematian seseorang, kemudian tidak diaduk kuburan tersebut, maka seandainya ia sholat di samping kuburan tersebut atau di atasnya, maka aku menghukuminya makruh dan aku tidak memerintahkannya untuk mengulangi sholatnya, karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak bercampur sedikitpun dengan sesuatu, demikian juga seandainya di kuburkan dua atau beberapa mayat di dalamnya.“
    Catatan :
    Cukup jelas nash imam Syafi’i tersebut memberikan faedah bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan tidak sah sholat di dalamnya. Adapun pekuburan yang tidak tergali, maka hukumnya suci dan sholat di dalamnya hukumnya sah. Demikian juga beliau Imam Syafi’i mengembalikan illatnya (sebab pelarangan) pada dikhawatirkannya najis, jika najisnya hilang, maka hilanglah hukum kemakruhannya.
     
    Firanda berkata :
    Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak sedang mencari barokah di kuburan. Namun demikian ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhu.
    Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir – yang telah menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi ini – untuk mendatangkan dalil yang mengkhususkan dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal dalam ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan mutlak lantas tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada keumuman dan kemutlakannya.
     
    Jawabanya :
    Justru atsar tersebut menjelaskan kebolehan sholat di samping kuburan, karena saat itu Anas bin Malik sholat menghadap kuburan, lalu ketika Umar bin Khoththob menegurnya, maka Anas bin Malik melangkahi kuburan tersebut dan tetap melanjutkan sholatnya tanpa mengulangi sholatnya lagi dan bahkan Umar bin Khoththob pun tidak memerintahkannya utk mengulangi sholatnya.
    Oleh karena itu imam Ibnu Hajar mengomentari atsar tersebut setelah menukilnya sebagai berikut :

    وَقَوْلُهُ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ اسْتَنْبَطَهُ مِنْ تَمَادِي أَنَسٍ عَلَى الصَّلَاةِ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ يَقْتَضِي فَسَادَهَا لَقَطَعَهَا وَاسْتَأْنَفَ

    Dan perkataanya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi (shalat)” merupakan istinbath dari meneruskannya Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengulanginya dari semula. [Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379]
    Dan rupanya Firanda tak paham kaidah ushul fiqih berikut ini :

    النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ مِنَ الْعِبادَاتِ اَوِ اْلمُعًامًلاتِ

     “Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang baik berupa perkara ibadah atau pun mu’amalah.“

    Misalnya : Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas, maka jika sholat tetap dilakukan, maka sholatnya rusak.
    Nah jika hadits sholat menghadap kuburan atau sholat di sisi kuburan sebuah larangan keharaman, maka sudah pasti kaidahnya sholat itu rusak dan batal. Tapi sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi sholatnya, itu artinya sholat beliau sah dan tidak rusak.

    Sumber: ummatipress.com

    Minggu, 18 Desember 2011

    Haram Itu Dosa dan Bid’ah itu Tidak Selalu Haram

    Sebagai seorang Muslim, maukah anda menjadi Penjahat Besar bagi kaum Muslimin? Pastinya anda tidak mau kan? Tapi secara tidak sadar selama ini mungkin anda sudah termasuk bagian dari Penjahat-penjahat Besar terhadap kaum muslimin.  Cobalah teliti apakah anda hobby mempermasalahkan amal-amal shalih kaum muslimin? Misalnya, apakah anda gemar meneriaki muslimin yang sedang baca surat Yasin di malam jum’at sebagai Ahli Bid’ah sesat dan masuk neraka? Banyak isu-isu bid’ah yang disebarkan di tengah ummat Islam yang kesemuanya menimbulkan fitnah terhadap Islam. Yang Mubah jadi haram bahkan yang halal pun jadi haram, inilah fitnah kepada Islam dan sekaligus menjadi kejahatan terbesar. Pernyataan ini bukan ngawur  lho, sebab yang mengatakan demikian adalah Rasulullah Saw. Mari kita simak dan hayati perkataan Rasul Saw berikut ini….

    قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَعْظَمَ
    الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ
    مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
    (صحيح البخاري)
    Sabda Rasulullah saw :
    “Sebesar – besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang
    mempermasalahkan suatu hal yang tidak diharamkan, namun menjadi haram
    sebab ia mempermasalahkannya (Shahih Bukhari)

    Berdasar pada hadits Shahih di atas sangat jelas, bahwa mempermasalahkan amalan muslimin yang tidak haram dikatakan haram itu adalah kejahatan terbesar. Itu Nabi Saw yang mengatakannya. Tahlilan, Maulid, Dzikir Berjama’ah, Yasinan, sesungguhnya adalah amal-amal shalih kaum muslimin, tetapi karena dipermasalahkan membuatnya menjadi haram (dosa bagi pengamalnya).
    Kaitannya dengan itu, dalam melancarkan missi dakwahnya Kaum Wahabi sangat gemar mempermasalahkan Tahlilan yang tidak haram dikatakan haram (pengertian bid’ah menurut Wahabi adalah: berdosa jika melakukan hal bid’ah. Ini artinya tidak lain adalah haram). Maulid Nabi tidak haram dikatakan haram, Tawassul dengan Nabi Saw tidak haram dikatakan haram bahkan pelaku Tawassul dikatakan Musyrik oleh kaum Wahabi. Kenapa Kaum Wahabi hobby berbuat demikian, tidakkah mereka telah melakukan kejahatan terbesar kepada Ummat Islam menurut pandangan Nabi saw?
    Bagi yang merasa pengikut Wahabi mari kita simak kembali dan renungkan sedalam-dalamnya hadits yang mulia ini agar sembuh dari Maksiat Kejahatan Terbesar Bagi Kaum Muslimin:

    قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ
    أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
    (صحيح البخاري)

    Sabda Rasulullah saw :
    “Sebesar – besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang mempermasalahkan suatu hal yang tidak diharamkan, namun menjadi haram sebab ia mempermasalahkannya (Shahih Bukhari)

    Dari penjelasan analisa singkat di atas dapat kita katakan bahwa setiap yang haram itu dosa akan tetapi bid’ah itu tidak selalu haram.  Semoga kita selamat dari pengaruh fitnah Islam, dan yang selama ini sudah terlanjur jadi Tukang Fitnah Islam semoga sadar dan tidak enggan bertaubat. Wallohu a’lam….

    *****
     Habib Munzir dalam salah satu majelisnya menjelaskan tentang hadits shahih ini sebagai berikut:

    إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

    Berikut adalah penjelasan Habib Munzir: Seorang muslim yang paling jahat kepada muslim lainnya orang muslim yang paling jahat paling besar dosanya paling besar kejahatannya adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan jadi haram gara – gara ia permasalahkan. Banyak sekarang yang muncul seperti ini, yang mengharamkan maulid, yang mengharamkan nisfu sya’ban, yang mengharamkan isra mi’raj. Hal ini tidak diharamkan dipermasalahkan hingga menjadi haram, padahal semuanya adalah syi’ar :

    ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

    “barangsiapa yang membesarkan syiar – syiar Allah, sungguh itu bentuk ketaqwaan hati.” (QS Alhajj 32)

    Disinilah kita memahami bahwa keagungan – keagungan syiar di masa ghaflahnya umat sangat dibutuhkan, kalau zaman dulu sudah kuat imannya muslimin – muslimat itu tapi zaman sekarang di mana ditemukan menyerukan Nama Allah, di mana kumpulan – kumpulan dzikir, lihat kumpulan – kumpulan dosa, perbuatan – perbuatan dosa, lihat luluh lantah dan hancurnya umat Muhammad Saw paling besar. Hadirin – hadirat, umat Muhammad Saw sekarang ini betul – betul menyayat hati Sang Nabi keadaannya, siapa yang berdzikir? siapa yang mengingat Allah? siapa lagi yang mau peduli di malam nisfu sya’ban, Sang Nabi bermunajat. Hadirin – hadirat, siapa lagi yang mau baca surat yasin, qalbul qur’an jantungnya alqur’an, siapa yang mau menghidupkan sunnah – sunnahnya Rasul makin hari makin tidak dikenal. Justru perkumpulan seperti inilah yang mesti dimakmurkan, mereka yang tidak suka semoga diberi hidayah, amin.

    Bid’ah Itu Tidak Otomatis Haram Atau Berdosa

    Vonis Bid’ah ala Wahabi terhadap amalan-amalan Kaum Muslimin benar-benar terbukti menjadi  Fitnah Islam. Bagaimana tidak menjadi fitnah Islam ketika ada orang baca surat Yasin dalam “Yasinan” divonis berdosa? Baca Tahlil dalam tahlilan berdosa, Dzikir Jamaah berdosa, baca kisah Maulid Nabi berdosa, tabligh akbar memperingati Isra' Mi'raj berdosa, dan masih banyak lagi contohnya. Ini akibat kaum Wahabi salah dalam memahami kata “BID’AH”, makanya mereka salah juga ketika menerapkannya sehingga justru kata “Bid’ah” menjadi vonis hukum satu-satunya, yaitu hukum haram sehingga berdosa jika melakukan hal Bid’ah. Lebih jelasnya sehingga Bid’ah itu sama dengan hukum haram. Inilah kesalahan fatal dari pemahaman Bid’ah.
     
    Kesalahan Wahabi dalam memahami kata “BID’AH”, adalah mereka memahami bid’ah sebagai suatu hukum, yaitu hukum haram. Padahal Bid’ah itu bukan hukum tetapi justru bid’ah adalah obyek hukum.  Sebab Bid’ah adalah “hal baru” yang mana “hal baru” ini tidak semuanya haram. Tetapi “hal baru” bisa menjadi Haram, menjadi Wajib, makruh, mubah, dan Mandubah. Demikian pemahaman tentang bid’ah oleh para Salafus Sholihin seperti Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Alatsqolani, Imam Nawawi dll.
    Untuk lebih mendalami pemahaman bab Bid'ah ini silahkan baca dan simak uraian yang benar-benar bagus ini. Semoga bermanfaat….

    MEMAHAMI KALIMAT:  “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”

    أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).
    Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap PERKARA YANG BARU, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

    Syaikh Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”

    Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kullu (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”

    Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yang HALAL dan yang HARAM, juga ada bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama, bukankah kullu di situ dikatakannya sebagai general (umum)? Beginilah LUCU-nya dan KONTRADIKTTIF-nya, bagaimana  banyak orang tidak mampu melihat ironisme difinisi Al-Utsaimin ini?

    Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

    Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Bayan Al-Syafi fii Mafahim Al-Khilafiyah (Pembahasan Tuntas Masalah Khilafiyah) menjelaskan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima bagian yaitu:
    1. Bid’ah Wajib; seperti mengumpulkan lembaran Al-Qur’an menjadi mushhaf, menyanggah orang yang menyelewegkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu.
    2. Bid’ah Mandub; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan melalui pengeras suara, mengerjakan kebajikan yang pada masa pertumbuhan islam belum pernah dikerjakan orang.
    3. Bid’ah Makruh; seperti menghias masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang tidak pada tempatnya, dan mendekorasi kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak pada semestinya.
    4. Bid’ah Mubah; seperti menggunakan berbagai peralatan makan dan minum, memakan makanan dan minuman yang mengesankan kemewahan dan berlebih-lebihan.
    5. Bid’ah Haram; semua perbuatan yang menyalahi sunnah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukuk syari’at dan tidak mengandung kemashlahatan yang dibenarkan oleh syara’.

    Soal sunnah dan bid’ah biasanya menjadi pangkal perbedaan dan perselisian pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengertian yang benar mengenai makna dan maksud dua perkataan itu.
    Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Rasulullah saw sebagai Shahibusy Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Keduanya tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah dapat ditentukan pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah, padahal Sunnah itulah yang menjadi pokok persoalan.

    Orang-orang yang anti bid’ah biasanya mereka mengklaim sebagai pengikut sunnah, padahal mereka belum mengetahui batas pengertian sunnah. Ironisnya mereka sendiri sebagai pelaku bid’ah namun tidak menyadarinya, dikarenakan mereka juga tidak mengetahui batas pengertian bid’ah itu sendiri. Karena itulah mereka terperosok pada pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.

    Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i mentakhrij dari Anas bin Malik serta Imam Bukhari mentakhrij dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau bersabda: “Mudahkanlah mereka dan jangan mempersulitnya, gembirakanlah mereka dan jangan membuatnya bersedih”. Dalam haditz tersebut memberikan pengertian akan fleksibelitas ajaran islam. Hal itu berhubungan langsung dengan perbedaan dan perselisihan pendapat, mengenahi sunnah dan bid’ah.
    Imam Muslim juga mentakhrij dari Jabir r.a dan Imam Bukhari mentakhrij dari Ibnu Mas’ud r.a dalam khutbah Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya tutur kata (hadits) yang terbaik adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad s.a.w. Sedangkan persoalan yang terburuk adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Makna hadits tersebut diperkuat oleh hadits Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majjah dan lainnya, Rasulullah bersabda, “…..Orang yang hidup sepeninggalku akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Hati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau, “Barangsiapa yang di dalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak ada maka ia tertolak.” Dan sebagainya.

    1. Pengertian Sunnah
    Makna sunnah menurut dua istilah itu bukan yang dimaksud dalam pembicaraan mengenai makna Hadits Rasulullah saw. Sebab yang dimaksud “sunah” dalam hal itu adalah “Sunnah Rasul”, yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam bentuk amal perbuatan maupun perintah. Maka sesuatu yang baru diadakan (yang belum ada sebelumnya) harus dihadapkan, dipertimbangkan dan dinilai berdasarkan sunnah Rasulullah s.a.w. Jika yang baru diadakan itu baik, sesuai dan tidak bertentangan dengan jalan yang ditunjukkan beliau, ia dapat diterima. Namun jika sebaliknya, ia harus ditolak.

    Syaikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidha’us Shirotil Mustaqim” mengatakan sebagai berikut, “Sunah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan Jahiliyah. Jadi kata “sunnah” dalam hal itu berarti “adat kebiasaan”, yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang yang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang lainnya.” Karena itu kita dapat memahami sunnah Rasulullah dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau, tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli ijtihad (Para shahabat, tabi’in dan para ulama’) dengan tetap berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tidak sepantasnya disebut sesuatu yang diada-adakan yang sesat (bid’ah dhalalah).  Karena sunnah Rasulullah mancakup empat macam, yakni Sunnah Qauliyah (ucapan), Fi’liyah (kerjaan/tindakan), Taqriyah (pengakuan) dan Hammiyah (cita-cita/keinginan). Dan keempatnya sampai saat ini diikuti oleh umatnya.

    2. Pengertian Bid’ah 

    Dalam kitab Al-Qawa’idul Kubra Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam memilah-milah “bid’ah” menurut kandungan dan cakupannya, apakah mengandung mashlahah (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), ataukah kosong dari keduanya. Atas dasar itu ia membagi sifat bid’ah menjadi lima sesuai dengan lima kaidah hukum syara’, yaitu Wajib, Mandub, Haram Makruh dan Mubah. Banyak ulama yang menilai pendapat ini sangat cermat dan tepat seperti pendapat Muhammad bin Ismail Al-Kahlani (Ash-Shon’ani) membagi bid’ah ada lima bagian dalam kitab Subulus Salam syarah kitab Bulughul Maram, Imam Nawawi dan lainnya. Mereka menyatakan bahwa penerapannya tentu menurut keperluan dalam menghadapi berbagai kejadian, peristiwa dan keadaan baru yang ditmbulkan oleh perkembangan masyarakat. Mereka mengingkari pemikiran dan pandangan yang obyektif seperti itu, dan tetap bersitegang mempertahankan pengertian keliru dan kurang bijak tentang “Kullu Bid’atin Dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat).

    Jika anggapan bahwa setiap yang diada-adakan dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah itu sesat, ada baiknya memperhatikan sejarah al-Qur’an dan al-Hadits yang dibukukan dan bisa dirasakan manfa’atnya sampai saat ini adalah hasil dari yang diada-adakan (bid’ah), karena Rasulullah tidak pernah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk membukukan al-Qur’an atau menjadikannya mushhaf, juga melarangnya untuk tidak menulis apa yang pernah diucapkan dan dilakukannya (sunnah-sunnah Rasulullah).

    Imam Bukhari, Muslim dan lainnya mentakhrij dari Rifa’ah bin Rafi’ berkaitan seseorang yang menyusul ucapan Rasul “Sami’allahu liman hamidah” waktu I’tidal dengan ucapan “Rabbana lakal-hamdu katsiron mubarokan fiihi.” Selesai shalat Rasul tidak memarahi orang tersebut bahkan bersabda, “Aku melihat lebih dari tigapuluh Malaikat berpacu ingin mencatat do’a kamu itu lebih dulu.” Begitu juga ketika ada seorang jama’ah yang menambahkan do’a iftitah Rasul dengan kalimat “Allahu akbar kabiran wal-hamdu lillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashilan” beliau bersabda, “Aku melihat pintu-pintu langit terbuka bagi kalimat itu.” (HR. Nasa’i dari Ibnu Umar)

    Ketika Rosululloh mendapat hadiah daging kelinci beliau menyuruh para shahabatnya untuk memakannya, juga kepada Umar bin Khaththab, namun Umar berkata bahwa ia sedang puasa, lalu Rasul bertanya, “puasa apakah itu?” Umar menjawab, “ puasa pada tanggal 13, 14 dan 15” Maka Rasul Bersabda, “Benar engkau umar, lakukanlah puasa pada hari yang putih bersih (yaum al-bidh) yaitu tanggal 13, 14 dan 15.” (HR. Baihaqi dari Umar bin Khaththab)

    Contoh-contoh riwayat diatas adalah HAL BARU dalam agama (BID’AH) oleh para sahabat yang DILEGALKAN oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dimana sebelumnya tidak dicontohkan oleh beliau. Wallohu A’lam bish-Showab.
    Semoga bermanfa’at untuk menambah wawasan dan kebersatuan umat islam. Aamiin….

    Selasa, 29 November 2011

    AYAT TASYBIH

    Oleh: Habib Mundzir al-Musawa

    Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam
    jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

    Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu
    tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti
    Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.

    Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”,
    demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.

    Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat. Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepadaKu dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal-hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera
    lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

    Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:

    1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
    Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu'minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan
    membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh
    tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.

    2. Madzhab takwil
    Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri). Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.

    Seperti ayat :
    ”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
    dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).

     Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
    Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569), Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
    Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hambaNya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125).

    Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
    Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah SWT, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).

    Walillahittaufiq

    Senin, 28 November 2011

    Mengutamakan Ukhrawi

    Dalam suatu majelis di kota Madinah, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana sikap kalian jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?"
    Diantara sahabat ada yang segera menjawab, "Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah".
    Beliau segera menukas, karena ingin meyakinkan, "Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian lainnya. Jumlah kalian banyak, tetapi lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu dimakan anai-anai".
    Para sahabat penasaran, lalu bertanya, "Mengapa bisa begitu, ya Rasulullah?"
    Rasul segera menjawab, "Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut kepada dunia materi dan takut menghadapi kematian". Dalam hadits lain disebutkan, "Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah diantara kalian".

    Apa yang dikatakan Rasulullah SAW bukanlah ramalan.Apa yang dikatakan beliau adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (pemberitahuan tentang sesuatu yang masih ghaib) yang mengandung indzar (peringatan) kepada umatnya, agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia. Rasulullah SAW mendapatkan ilmu dari Allah SWT dapat melihat ke masa depan, sehingga bisa memberikan gambaran pada masa yang akan datang.

    Apa yang ditanyakan Rasulullah SAW kepada para sahabat  juga pernah ditanyakan Malaikat Jibril AS kepada Beliau, "Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai: menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman AS, atau menjadi Nabi yang papa seperti Nabi Ayyub AS?"
    Nabi SAW menjawab, "Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Di saat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. Sedang di saat lapar, aku bisa bersabar dengan ujian dari-Nya.

    Apa yang dikatakan Rasulullah SAW terbukti, ketika ada kesempatan Umar bin Khaththab ra masuk ke rumah beliau. Pada waktu itu Islam sudah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakmuran. Ketika Umar masuk ke dalam rumah beliau, matanya tertegun dengan keadaan isi rumah junjungannya itu. Di dalam rumah Rasulullah hanya ada sebuah meja dan alasnya yang terbuat dari daun kurma yang kasar. Sementara yang ada di dinding,  hanya ada sebuah girba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu.
    Keharuan muncul di hati Umar, yang kemudian tanpa disadarinya air matanya mengucur. Tak diketahui Umar, bahwa Rasululah SAW melihatnya, dan kemudian menegurnya, "Apakah gerangan yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?"
    Umar menjawab dengan masih terlihat air menetes dari matanya, "Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan, kecualisebuah meja dan sebuah girba, padahal ditangan Tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan barat, dan (kita telah mendapatkan) kemakmuran yang melimpah".
    Beliau menjawab, dengan tegas, "Wahai Umar, aku  adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan kisra dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi".

    Apa yang terjadi setelah Nabi wafat? Ternyata apa yang disabdakan Nabi itu terbukti. Fitnah yang sangat besar terjadi di separuh terakhir pemerintahan Khulafar Rasyidin. Lebih hebat lagi di zaman Daulah Bani Umayyah. Kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompok, mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan, sehingga terjadi pemberontakan dari sebagian umat Islam lainnya.

    Kaum zuhhad, orang-orang yang berperilaku zuhud, dengan mengambil hadits-hadits di atas mengambil sikap menjauhi godaan duniawi. Mereka berpendapat, kehidupan ruhani yang terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri-dengki, dan dendam.
    Kelompok inilah kemudian yang berkembang menjadi kelompok sufi dan selanjutnya menjadi kelompok tarekat. Mereka menempuh jalan ruhani untuk mencapai Mardhatillah.

    ---000---

    Minggu, 30 Oktober 2011

    Kisah Hamba yang Sombong Dengan Amalnya

    Dari Jabir ra, berkata: Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda:

    "Jibril berkata: 'Ya Muhammad, demi dzat yang telahmengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba dari hamba-hamba-Nya yang beribadah selama lima ratus tahun. Ia beribadah di atas gunung (yang berada) di tengah lautan. Tempat itu memiliki luas dan panjangnya tiga puluh dzira dari tiga puluh dzira, sedangkan lautan yang mengelilinginya sejauh empat mil dari semua sudut. Sedangkan (untuk ia minum) terdapat mata air yang melimpahkan airnya, sehingga air itu berkumpul di bawah gunung.
    Di tempat itu juga terdapat pohon yang buahnya senantiasa keluar di setiap malam dan siang hari. Ketika sore ia berwudhu, lalu memakan buah dari pohon itu. Setelah itu ia beribadah lagi kepada Allah. Lalu ia meminta kepada Rabb dengan permohonan; bahwa jika ia mati, maka ia mati dalam keadaan bersujud. Sedangkan bumi (ketika ia mati), ataupun mahluk yang lainnya tidak dapat merusak jasadnya, sehingga ketika ia di bangkitkan oleh Allah, ia masih berada dalam posisi bersujud, Allah telah mengabulkannya. Kami pun menjaga dan melindungi jasadnya, sampai datang perintah Allah pada saat kebangkitan di hari kiamat.
    Lalu iapun berhenti di antara kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk di hisab.

    Lalu Rabb berfirman: "Masuklah ke dalam surga-Ku dengan rahmat-Ku".

    Lalu ia berkata: 'Ya Rabb! dengan amalku'.

    Lalu Allah berfirman: "Masukkanlah hamba-Ku ke dalam surga-Ku dengan Rahmat-Ku".

    Lalu ia berkata: 'Ya Rabb! dengan amalku'.

    Lalu Allah berfirman: "Hamba-Ku menginginkan agar ia dimasukkan kedalam surga dengan amalnya, bukan dengan rahmat-Ku".

    Ia pun dihitung dengan nikmat (diberikan pandangan/penglihatan mata). Setelah ditimbang, hilanglah amalnya selama lima ratus tahun, sedangkan nikmat yang berada di anggota tubuhnya yang lain masih tersisa (belum mencukupi) dengan amal baiknya.

    Kemudian di firmankan: "Masukkanlah hamba-Ku ke dalam neraka",

    ia pun digiring ke neraka, lalu ia berteriak: 'Ya Rabb! dengan rahmat-Mu, masukkanlah aku ke dalam surga dengan rahmat-Mu'.

    Lalu di jawab: "Tolak ia!", lalu ia pun bersimpuh diantara kekuasaan-Nya.

    Allah berfirman: "Hai hamba-Ku, siapakah yang menciptakanmu dan menjagamu dari sesuatu ?",

    di jawab: 'Engkau ya Rabb'.

    Lalu ditanyakan: "Siapakah yang memberikan kekuatan untukmu, agar kamu dapat beribadah selama lima ratus tahun ?"

    ia menjawab: 'Engkau ya Rabb'

    Lalu di tanyakan: "Siapakah yang menempatkanmu di atas gunung ditengah lautan, kemudian mengeluarkan untukmu air yang dapat kamu minum, serta yang mengeluarkan untukmu setiap malam, buah yang kamu makan, sedangkan buah tersebut hanya berbuah satu kali dalam satu tahun, lalu siapakah yang mematikanmu dalam keadaan bersujud ?"

    ia menjawab: 'Engkau ya Rabb'

    Lalu di firmankan: "Semua itu adalah karena rahmat-Ku, dengan rahmat-Ku pula kamu masuk surga. Masukkanlah hamba-Ku ke dalam surga, sedangkan kenikmatan untukmu hai hamba-Ku", lalu Allah memasukkannya ke dalam surga. Jibril lalu berkata: "Sesungguhnya segala sesuatu itu berasal dari rahmat Allah, hai Muhammad". (HR. al-Hakim).

    --- 000 ---