Senin, 03 Juni 2013

Inovasi Baru Dalam al-Qur'an

Sejarah penulisan, penyusunan dan penyebaran Al-Quran bermula dari zaman Rasulullah SAW. Pada zaman ini, penyusunan telah mulai dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Baginda menyuruh para sahabat supaya menulis ayat2 Al-Quran pada tulang, pelepah2 kurma, kulit2 binatang dan sebagainya. Rasulullah SAW juga menghafal ayat2 tersebut dan meminta para sahabat yang lain menghafalnya juga.

Sahabat2 yg menjadi penulis wahyu pada masa itu ialah Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sufyan, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud dan lain sebagainya.


Sejarah Pebukuan al-Qur'an Setelah Rasulullah SAW wafat,

Setelah melihat banyaknya penghafal al-Qur'an yang meninggal dalam perang Yamamah, menyebabkan kebimbangan dan kemasygulan pada diri Sayidina Umar bin Al-Khaththab. Dan atas dorongan dan desakan Sayidina Umar bin Al-Khaththab, Khalifah Abu Bakar mengambil keputusan utk menghimpun Al-Quran. Beliau telah memerintahkan Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan supaya menyempurnakan tugas ini.

"Sayidina Umar ra mendatangi Khalifah Abu Bakar ra, dan berkata: "Wahai Khalifah Rasulullah SAW, saya melihat pebunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur'an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur'an dalamsatu Mushhaf?" Khalifah menjawab: "Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  SAW?" Umar berkata: "Demi Allah, ini baik". Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya enemui Zaid bin Tsabit ra, dan menyampaikan tentangrencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?" Keduanya menjawab: "Demi Allah, ini baik". Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umardalam rencana ini".
[Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (4679), al-Tirmidzi (3103), Ahmad (1/10), dan al-Nasa'i dalam Fada'il al-Qur'an (20)]

Keterangan:
Umar mengusulkan menghimpun al-Qur'an dalam satu Mushhaf.
Abu Bakar mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong bid'ah.
Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-Qur'an dalam satu Mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bid'ah, agar al-Qur'an tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Qur'an ini tergolong bid'ah hasanah yang wajibah.


Pemberian Titik Dalam Penulisan Mushhaf

Pada masa Rasulullah SAW Penulisan Mushhaf al-Qur'an yang dilakukan para sahabat tanpapemberian titik terhadap huruf2nya, seperti ba, ta, tsa, nun, ya; jim, kha, kho; dll.

Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushhaf menjadi 6 salinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam (Basrah, Mekah, dll) dan 1 salinan untuk beliau pribadi, juga tanpa pemberian titik pada huruf2nya.

Pemberian titik pada Mushhaf al-Qur'an baru dimulai oleh seorang ulama tabi'in, Yahya bin Ya'mur (wafat sebelum th 100H/719M). Dalam hubungan ini ada tiga nama yang disebut-sebut oleh ulama di zamannya, yakni : Abu al-Aswad al du-ali dan nama ini yang paling popular Yahya ibn Ya’mar dan Nashr ibn ‘Ashim al-Laitisi. 

Al-Imam Ibn Abi Dawud al-Sijstani meriwayatkan:
"Harun bin Musa berkata: "Orang yang pertama kali memberi titik pada Mushhaf adalah Yahya bin Ya'mur". (AL-Mashahif, hal. 158)

Setelah beliau memberikan titik pada Mushhaf, para ulama tidak menolaknya, meskipun Nabi SAW belum pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushhaf.


Pemberian Kharakat (Syakal)

Imam Kholil bin Ahmad al-Farohidi (wafat 185 H), adalah seorang yang memperkenalkan penggunaan tanda titik dan harakat (syakal). Beliau menandai bunyi u (dammah) dengan wawu kecil di atas huruf, bunyi a (fathah) dengan alif yang ditulis horizontal, dan bunyi i (kasrah) dengan ya’ kecil yang disambung dibawah huruf, sukun, tasydid, dll.


Makhrajul Huruf

Imam Abu Ubay Qosim bin Salam (wafat 224 H), adalah seorang yang pertama kalinya menemukan dasar2 ilmu Tajwid (Idhar, ikhfa,idgham, idgham bighunah, iqlab), dan beliau yang mula2 memberikan tanda (simbol) mad dalam huruf2 al-Qur'an.

Tidak terbayangkan, seandainya tanda MAD tdk ditulis dalam al-Qur'an, mungkin generasi kita banyak kesalahan dalam cara bacanya, seperti:
Alif Lam Mim, akan dibaca: "Alam" atau "alif-lam-mim" tanpa pembeda panjang pendeknya huruf;
Alif Lam Mim Shad, akan dibaca: "Alamash" atau "alif-la-mim-shad" saja tanpa pembeda, dll.

Pembagian Bid'ah


kaumWahabi selalu  mempunyai pandangan yang berbeda dengan ulama yang menjadi panutan mayoritas kaum muslimin, termasukdalam persoalan bid'ah. Perbedaan itu tidak lepas dari perbedaan perspektif masing2 tentang makna & hakikat bid'ah. 

Belakangan begitu gencar tudingan bid'ah pada seseorang atau kelompok tertentu. Yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sefaham dengannya melakukan "bid'ah", sehingga mereka "tersesat" dan "berhak" masuk neraka.

Pada dasarnya ada 2 macam penafsiran & pandangan tentang tentang bd'ah beserta hukum2nya. Berikut akan diuraikan pandangan kedua kelompok tersebut beserta argumentasi2-nya.



A. Bid'ah Menurut Kelompok Pertama


Kelompok ini terdiri dari mayoritas kaum Muslimin Ahlussunah Wal-Jama'ah, dari kalangan sahabat Nabi SAW, Ulama Salaf, Imam Mujtahid dan ahli hadits populer dalam setiap kurun waktu.

1. Definisi  Bid'ah


a. Al-Imam 'Izzuddin bin Abdissalam

Al-Imam 'Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam (577-660 H/ 1181-1262 M), Ulama terkemuka dalam madhzab Syafi'i, mendefinisikan bid'ah dalam kitabnya Qawa'id al-Ahkam sebagai berikut:

"Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW". (Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam 2/172)

b. Al-Imam al-Nawawi

Al-Imam Muhyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafidhz & faqih dalam madhzab Syafi'i, dan karya2nya menjadi kajian dalam dunia Islam, seperti Syarh Shahih Muslim, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Riyadh al-Shalihin, dll. Mendefinisikan bid'ah sebagai berikut:

"Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru, yang belum ada pada masa Rasulullah SAW". (Tahdzib al-Asma' wa al-LUghat, 3/22).

2. Pembagian  Bid'ah


Kelompok ini membagi bid'ah menjadi 2 macam, yaitu bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Bid'ah yang sesuai dengan sunah Rasul SAW dihukumi terpuji. Sedangkan bid'ah yang menyalahi sunah Rasul SAW dihukumi tercela.

a. Al-Imam Syafi'i

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi'i -mujtahid besar & pendiri madhzb Syafi'i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunah Wal-Jama'ah di dunia Islam-, berkata:

"Bid'ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur'an atau sunah atau ijma',dan itu disebut bid'ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikkan yang tidak menyalahi al-Qur'an, sunah dan ijma dan itu disebut bid'ah yang tidak tercela". (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi'i, 1/469).

Bahkan al-Imam al-Syafi'i menafikan nama bid'ah terhadap sesuatu yang mempunyai landasan dalam syara', meskipun belum pernah diamalkan oleh salaf. Dalam hal ini, beliau berkata:

"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara', maka bukan termasuk bid'ah eskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan  hal tersebut terkadang karena ada udzur yang terjadi pada saat itu,atau karena ada amaliah lain yang lebih utama dan  atau barangkali hal itu belum diketahui oleh mereka". (al-hafidz al-Ghumari, Ittiqan al-Sun'ati fi takhqiq ma'na bid'ah, hal. 5).

b. Al-Imam Ibn Abdilbarr

AL-Imam Abu Umar  Yusuf bin Abdilbarr al-namiri al-Andalusi, hafidz dan faqih bermadhzab Maliki. Beliau membagi bid'ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau: 

"Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid'ah, maka bid'ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid'ah tersebut dalam agama menyalahi sunah yang telah berlaku, maka itu bid'ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid'ah yang tidak menyalahi dasar syari'at dan sunah, maka itu sebaik-baik bid'ah". (Al-Istidzkar, 5/152).

c.AL-Imam al-Nawawi

Al-Imam al-Nawawi juga membagi bid'ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid'ah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:

"Bid'ah terbagimenjadi dua,  bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah qabihah (buruk)"

Dalam shahih Muslim dan Raudhatal-Thalibin, al-Imam al-Nawawi membagi bid'ah tidak hanya menadi dua bagian, bahkan beliau juga membagi bid'ah menjadi lima hukum sesuai dengan alur yang diikuti oleh mayoritas  ulama.

d. Al-Hafidzh Ibn al-Atsir al-Jazari

Al-Imam Al-Hafidzh Ibn al-Atsir al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, jugamembagi bid'ah menjadi dua bagian; Bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (buruk). Dalam kitabnya al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, beliau mengatakan:

"Bid'ah ada dua macam; Bid'ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid'ah dhalal (sesat). Maka bid'ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah SAW, tergolong bid'ah tercela dan ditolak. Bid'ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid'ah terpuji. Sedangkan bid'ah yang belum pernah memiliki kesamaan kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara'."

e. AL-Hafidzh Ibn al-'Arabi al-Maliki

Al-Imam al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-'Arabi al-Maliki, seorang hafidhz, mufasiir dan faqih madhzab Maliki, juga membagi bid'ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya 'Aridhat al-Ahwadzi Syarh  Jami' al-Tirmidzi, beliau berkata:

"Umar berkata: " Ini sebaik-baik bid'ah". Bid'ah yang dicela hanyalah bid'ah yang menyalahi sunah. Perkara baru (muhdatsat) yang dicela adalah yang mengajak pada kesesatan".

f. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam

Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi id'ah menjadi lima bagian. Dalam pandangannya bid'ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid'ah wajibah, bid'ah mandzubah (sunah), bid'ah mubahah, bid'ah makruhah, dan bid'ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:

"Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW. Bid'ah terbagi menadi lima; Bid'ah wajibah, bid'ah muharramah, bid'ah mandzubah, bid'ah makruhah  dan bid'ah mubahah. Jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid'ah pada kaidah-kaidah syariat. Apabila bid'ah itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bid'ah wajibah. Apabila masuk pada kaidah haram, maka bid'ah muharramah. Apabila masuk pada kaidah sunah, maka bid'ah mandzubah. Dan apabila masuk pada kaidah mubah, maka bid'ah mubahah.
Bid'ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Hal ini hukumnya wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib,maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta'dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid'ah muharramah banyak memilki contoh, diantaranya bid'ah ajaran Qadariyah, Jabariyah, Murji'ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid'ah-bid'ah tersebut termasuk bid'ah yang wajib.
Bid'ah mandzubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan sekolah-sekolah, jembatan-jembatan, shalat teraweh berjama'ah dan setiap kebaikan yang belum pernah dikenal pada generasi pertama.
Bid'ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur'an.
Bid'ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah makanan dan minumam yang lezat-lezat, pakaian yang indah, rumah yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain." (Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133).

Pandangan al-Imam Izzuddin bin Abdissalam yang membagi bid'ah menjadi lima bagian ini dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.

g. Ibn Hajar al-'Asqalani

Al-Imam Ibn Hajar al-'Asqalani, hafidhz dan faqih bermadhzab Syafi'i. Beliau membagi bid'ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. 
Dalam kitabnya Fath al-Bari, beliau mengatakan:

"Secara bahasa, bid'ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara', bid'ah diucapkan sebagai lawan sunah, sehingga bid'ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid'ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara', maka disebut bid'ah hasanah. Bila masukdalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara', maka disebut bid'ah mushtaqbahah (tercela). Bilatidak masuk dalam naungan keduanya, maka enjadi bagian mubah (boleh). Dan bid'ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum." (Fath al-Bari, 4/253).

h. Al-Imam al-'Aini

Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad al-'Aini(762-855 H/1361-1451 M),hafidhz dan faqih bermadhzab Hanafi membagi bid'ah menjdi dua bagian. 
Beliau mengatakan:

"Bid'ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Kemudian bid'ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungn sesuatu yang dianggap baik oleh syara', maka disebut bid'ah hasanah. Apabila masuk dibawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara', maka disebut bid'ah tercela." ('Umdat al-Qari, 11/126).

i. Al-Imam al-Shan'ani

Al-Imam Muhammad bin Isma'il al-Shan'ani, muhadits dan faqih yang dikagui oleh kaum wahabi, juga membagi bid'ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulughul Maram, Beliau mengatakan:

"Bid'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid'ah disini adalah sesuatu yang dkerjakan tanpa didahului pengakuan syara' melalui al-Qur'an dan Sunnah. Ulama telah membagi bid'ah menjadi lima bagian: 1) bid'ah wajib seperti memlihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menengakkan dalil-dalil, 2) bid'ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid'ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid'ah muharramah dan 5) bid'ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits "semua bid'ah itu sesat", adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya." (Subul al-Salam, 2/48).

j. Al-Imam al-Syaukani

Al-Imam Muhammad bin al-Syaukani, ahli hadits dan faqih yang juga dikagumi kaum wahabi, juga membagi bid'ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Nail al-Authar (3/25), al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafidhz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang pebagian bid'ah tanpa memberinya komentar.

Dalam Uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu membagi bid'ah menjadi dua bagian, yaitu bid'ah hasanah dan bid'ah madzmumah. Bahkan lebih rinci lagi, bid'ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.



B. Bid'ah Menurut  Kelompok Ke-Dua


Kelompok ini memiliki pandangan berbeda dengan pandangan mayoritas kaum muslimin, dimana-mana mereka mengatakan bahwa semua bid'ah itu pasti sesat, dan setiap kesesatan pasti masuk neraka. Pendapat ini diikuti oleh pengikut wahabi, seperti Ibn Baz, al-'Utsaimin, al-Albani, Arrabi' dll.

AL-'Utsaimin

Diantara tokoh wahabi yg menjadi rujukan adalah Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, pemimpin wahabi dari Najd, Saudi Arabia. Tokoh-tokoh wahabi yang lain semisal Ibn Baz,  al-Albani, Arrabi' dll. berupaya dengan sekuat tenaga dan mengerahkan seluruh energi untuk meyakinkan para pengikutnya, bahwa semua bidah itu pasti "sesat", dan yang namanya "sesat" pasti masuk "neraka".

Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan al-'Utsaimin yang begitu muluk-muluk dalam risalah kecil tentang bid'ah yang ditulisnya berjudul al-Ibda' fi  Kamal al-Syar'i wa Khathar al-Ibtida' (Kreasi tentang kesempurnaan syara' dan bahayanya bid'ah), berikut ini:

"Hadits "semua bid'ah adalah sesat", bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuatyaitu kata-kata "kull (seluruh)".
Apakah setelah ketetapanmenyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid'ah menjaditiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar." (Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, al-Ibda' fi  Kamal al-Syar'i wa Khathar al-Ibtida' hal. 13).

Pernyataan al-'Utsaimin ini memberikan pengertian bahwa hadits "Semua bid'ah adalah sesat" bersifatgeneral, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid'ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada satupun bid'ah yang boleh disebut bid'ah hasanah, apalagi disebut bid'ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Oleh karena itu, embagi bid'ah pada tiga bagian atau lima bagian, menurutnya tidak akan pernah dibenarkan, dan bid'ah tetap selalu "sesat" dan masuk "neraka".

Tetapi tesis al-'Utsaimin ini sulit dipertahankan secara ilmiah oleh al-'Utsaimin sendiri. Disamping tesis tersebut hanya sebagai bukti kesempitan cara berfikirnya dan menyalahi metodologi berfikir para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits, tesis diatas justru bertentangan dengan pernyataan al-'Utsaimin sendiri dibagian lain dalam bukunya, yang membagi bid'ah menjadi beberapa bagian sesuai dengan mayoritas ulama. Misalnya ia mengatakan:

"Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi bid'ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid'ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid'ah, kecuali ada dalil dari al-kitab dan sunah yang menunjukkan keberlakuannya." (Al-'Utsaimin, Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 639-640).

Tentu saja pernyataan al-'Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid'ah secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun kemudian, disini al-'Utsaimin membatalkannya dengan menyatakan bahwa "bid'ah dalam urusan dunia, halal semua, kecuali ada dalil yang melarangnya. Bid'ah dalam urusan agama , haram dan bid'ah semua, kecuali ada dalil yang membenarkannya."

Dengan klasifikasi bid'ah menjadi dua (versi al-'Utsaimin), yaitu bid'ah dalam hal dunia dan bidah dalam hal agama, dan memberi pengecualian dalam masing-masing bagian, menjadi bukti bahwa al-'Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (Tidak ada pembagian dalam bid'ah). Selain itu, embagian bid'ah menjadi dua versi ini, tidak memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan, dan hanya retorika wahabisme saja.

Dalam bagian lain, al-'Utsaimin juga menyatakan:

"Diantara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hukum tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan. Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu,pembangunan madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun bid'ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hukum perantara mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya dihukumi haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syariat, maka membangunnya disyariatkan." (Al-'Utsaimin, al-Ibda' fi  Kamal al-Syar'i wa Khathar al-Ibtida' hal. 18-19).

Dalam pernyataan ini al-'Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan, bahwa semua bid'ah secara keseluruhan, tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pernah benar membagi bid'ah membagi tiga apalagi menjadi lima. Kini al-'Utsaimin telah menyatakan, bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid'ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal ini bid'ah yang belum tentu sesat, belum tentu ke neraka, bahkan hukum bid'ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum tujuannya.

Begitulah, al-'Utsaimin yang jatuh ke dalam lumpur tanaqudh (kontradiksi). Pada awalnya mengeluarkan tesisbahwa semua bid'ah itu sesat, tanpa terkecuali. Namun dalam buku yang sama, ia tidak dapat mengelak dari realita yang ada, sehingga membagi bid'ah menjadi beberapa bagian sebagaimana pandangan mayoritas ulama.

Para ulama menyatakan:
"Orang yang memiliki ajaran bathil pasti kontradiksi dengan dirinya sendiri. Karena Allah SWT telah berfirman: "Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. al-Nisa': 82).

Andaikata, para tokoh wahabi seperti al-'Utsaimin, Ibn Baz, al-Albani dan Arrabi' mau rendah hati dan mengikuti para ulama besar seperti al-Imam al-Syafi'i, al-Khaththabi, Ibn Abdilbarr, al-Nawawi, Izzuddin bin Abdissalam, al-Hafidzh Ibn ajar, dan lain-lin, tentu mereka tidak akan jatuh dalam lumpur tanaqudh dan tahrif.

Sabtu, 01 Juni 2013

Hukum Asal Ibadah Adalah Haram, Kata SALAFI-WAHABI


Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama salafi-wahabi,

الأصل في العبادات التحريم

"Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil)." (Rumaysho.com)

>>>>>>>>>>>>>>

Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan,

"Mana dalilnya ?",

"Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?",

"Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?",

"Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?" dan lain sebagainya.

Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafi-wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam, bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan lainnya.

Perlu diingat bahwa kaidah fiqh: "Asal Ibadah adalah Tauqif" Bukan "haram"
dan "ibadah" yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : "ibadah mahdhah saja"

Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur'an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.

Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur'an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur'an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan.

APAKAH MUNGKIN ALLAH TIDAK BERADA DI LANGIT DAN ALLAH TIDAK BERTEMPAT ?

Ko’ kita punya Tuhan yang Maha Segala-galanya, tapi keberadaanNya tidak diketahui ? Sehingganya merekapun kadang berkomentar, Barangkali saat ini masih ada yang bingung dengan keberadaan Allah. Merekapun bertanya; dimana Allah ? Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan menunjukkan kita kepada kebenaran. Amiin.

Jikalau kita sudah memahami pemaparan diatas, apakah mungkin kita akan mengingkari maujud yang wujud secara realita, namun tidak tertangkap oleh indra, ilustrasi dan daya khayal manusia ?!

Begitu juga halnya dengan pelbagai sikap yang ditunjukkan oleh jiwa kita, apakah mereka bisa menunjukkan hakikat wujud dari rasa malu, khawatir, takut, cemas, rindu, marah, senang, sedih, kagum, kaget, dll ? Jikalau ada yang mendakwa bahwa hal itu tidak sulit diketahui hakikatnya, sangat mudah ditangkap oleh pengetahuan manusia, ketahuilah bahwa akalnya sebenarnya sedang tidak berfungsi dengan baik, dan ia telah mencoba membebani akalnya dengan hal-hal yang memang tidak bisa ditangkap oleh akalnya. Pada akhirnya, jikalau mau jujur, akalnya pun tetap tidak akan mengetahui hakikat dari pelbagai kondisi jiwa seperti yang dicontohkan diatas. Tapi pelbagai kondisi jiwa itu ada! Subhanallah, ternyata manusia begitu sulit untuk mengetahui hakikat segala sesuatu yang ada pada dirinya sendiri, apalagi yang ada di luar diri mereka ! Bukankah pada diri kita sendiri terdapat tanda-tanda kebesaran Allah ?

Jawaban: 

Khayal itu sendiri bukankah juga fiktif ? K
hayal itu sendiri tidak bisa dikhayalkan oleh manusia, begitu juga dengan pandangan, tidak masuk ke dalam khayal manusia. Jikalau dikaji lebih lanjut, hakikat sifat ilmu Allah, sifat qudrah Allah, hakikat suara dan hakikat wewangian apapun juga tidak bisa dikhayalkan keberadaannya oleh khayal manusia, tapi semuanya ada !

Seandainya kita minta seseorang untuk mencoba mengkhayalkan wujud realita dari suara, apakah mereka bisa membuktikan hakikatnya ? Barangkali mereka bisa mencoba meneliti, membuktikan, menggambarkan dan memberikan statemen kepada kita bahwa suara itu memiliki ukuran x, masa x, warna x, bentuk x, membutuhkan medium x dan segala macamnya. Ketahuilah wahai orang-orang yang berakal bahwa semua yang mereka sampaikan itu tidak sesuai dengan realitanya, yang mereka lakukan hanyalah sebagai pendekatan pemahaman kepada kita !

Seandainya dikatakan: "segala sesuatu yang tidak bisa dikhayalkan sebenarnya bersifat fiktif, tidak ada maujudnya secara fakta". Kita jawab kepada mereka: Allah adalahmaujud yang berbeda dengan makhluqNya, Allah bukan maujud yang memiliki organ, ukuran dan warna tertentu, dan Allah tidak membutuhkan tempat, posisi dan arah tertentu sebagaimana layaknya makhluq. Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan dalil-dalil akal agar keberadaan Allah masuk ke dalam wilayah dalil-dalil akal dan logis menurut akal fikiran mereka.
Makanya satu hal yang tidak bisa ditolak, bahwa akal manusia mesti tunduk untuk mengimani Allah berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan kita untuk mengimani dalil-dalil tersebut dan tidak mungkin kita ingkari. Bukankah keberadaan alam kita yang maha indah, teratur dan menakjubkan ini membuktikan bahwa Allah itu pasti ada ? Tidak mungkin setetes mani bisa berubah dan berproses dengan sendirinya mulai menjadi janin, lahir menjadi seorang bayi, tumbuh menjadi seorang balita, dilanjutkan menjadi seorang remaja, meningkat dewasa, mengakhiri hidup dengan masa tua sebelum kembali keharibaan Allah, Tuhan kita ?

Seandainya mereka mendakwa bahwa "keberadaan maujud tanpa tempat ini tidak tercerna oleh akal, maksudnya tidak bisa dipahami dengan dalil-dalil akal manusia, dan ini adalah mustahil terjadi." Khayal itu sendiri bisa dihasilkan oleh manusia kecuali ketika dirangsang dan dihantarkan oleh objek pandangan mereka. Setiap orang bisa mengkhayalkan apa yang pernah dilihatnya. Tidak bisa dibenarkan, jikalau ada khayalan tapi tidak didahului oleh pandangan mereka terhadap objek-objek tertentu sebelumnya, dan daya khayal itu biasanya sesuai dengan apa yang pernah dilihat. Oleh karena itu daya khayal manusia tidak bisa menghasilkan sebuah khayalan, kecuali sesuai dengan apa yang pernah dilihatnya.

Jikalau dimaksudkan bahwa maujud itu tidak bisa dikhayalkan dan tidak bisa digambarkan serta juga tidak bisa diilustrasikan oleh akal manusia, ini adalah benar. Karena maujud yang dimaksudkan ini (Allah) tidak tertangkap oleh ilustrasi manusia, demikian juga dengan khayal dan gambaran indra mereka. Kecuali maujud ini adalah sesuatu yang memiliki warna dan ukuran tertentu, seperti seluruh maujud yang lain. Sedangkan segala sesuatu yang tidak memiliki warna dan ukuran tertentu tidak bisa dikhayalkan oleh manusia.
Kemudian kita lanjutkan bertanya kepada mereka, apa yang dimaksudkan dengan "tidak bisa dipahami ini?" 

Bukankah berdasarkan dalil naqly yang disebutkan diatas dan dalil `aqly menyatakan bahwa Allah adalah maujud yang berbeda dengan seluruh maujud yang lain ? Jikalau kita sudah meyakini demikian, berarti kita bisa menegaskan bahwa zat dan sifat Allah berbeda dengan makhluq dan segala hukum yang berlaku antara Allah, Al Khaliqdengan manusia dan seluruh makhluq secara mutlaq. 

Tidak ada satu sisipun yang sama, laisa kamitslihi syaiu’n !