Sabtu, 30 Juli 2011

WAHABI, BETULKAH KALIAN PENGIKUT ULAMA SALAF ?




Selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian tauhid, golongan wahabi memang dikenal dengan sifat plin-plan dan kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam mengambil sumber hukum. Walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama wahabi, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan wahabi yang berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa wahabi tak pernah harmonis dengan siapa pun atau golongan apa pun bahkan dengan sekte-sekte salafy-nya sekalipun).

Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ? Golongan wahabi ini dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !! Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dkk ? Seakan-akan golongan wahabi menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !

Dan banyak lagi kasus ulama wahabi yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh berikut :
“ Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Lalu bagaimana bisa, golongan wahabi ini mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan mencampakkan pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini, seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !
Cukuplah hadis Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!

Lalu bagaimana juga bisa dikatakan bahwa hasil pemahaman akal Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana pemahaman para sahabat ?!, seperti yang dilakukan oleh Ibn Baz ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu begitu. Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT dan sabda rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Apakah para wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah ini mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil pendapatnya dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll ! Kitab Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah. Lalu Fathur Rabani-nya – Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata : “Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).
****

Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?

Apakah ketika ada seseorang mengambil salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika wahabiyyun mengambil Albani, Ibn Baz, Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi (pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama wahabi yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan hal seperti itu ?

Sungguh ucapan seperti itu merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai barang secuil pun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu dengan mengklaim paling berpegang dengan madzhab Salaf !!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid. Padahal sebenarnya Imam Mujtahid  inilah yang paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !

Tidak cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh wahabi, maka serta merta kelompok sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah ditakhrij oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “ Jika ada hadis shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan merasa ‘ke pe-de-an’) !

Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat mereka berbeda bisa karena : perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstaksi hukum-hukum dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash yang lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadis atau sebab lain. Itu pun jika wahabiyyun memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub’ !!

Disisi lain, ulama wahabiyyun ini juga kadang melakukan penukilan ‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama wahabiyyun !!! Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadis (biografi para perawi hadis), masih sering dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘ menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu bukan asal comot namanya ?! Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk, mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka !!! (tidak konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ !!!)

Bahkan jika memang kelompok salafi palsu ini berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil atau Manakib Ar-rijal Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh lebih shohih dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn Hajar Al-Asqolani. Itu pun kalau wahabi mampu !!!

Lalu siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali ?! Padahal kepada mereka inilah (yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji dan mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok sempalan ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) . Padahal pada hakikatnya yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya ! Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid ini !!!
****

Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat itu terbukti kelemahannya, karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita bahwa para sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya ini taqlid buta ?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!

Pertanyaannya adalah : dari mana kelompok salafi palsu ini mengklaim mengetahui cara para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka (para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut ?!!
Jawabnya mudah; baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam) yang membukukan metode tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya digunakan ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita dapati jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ? Jadi, bukan atas fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata para wahabiyyun banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini serta ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf !!!

Lalu dari mana para Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu. Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah.

Walhasil, yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.

Lalu sekarang darimana wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam berijtihad, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf Ash-Sholeh ini !

Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku sebagai Ulama Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu ? Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu !!!

Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis.
Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas dan jauh dari menyan dang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1\\hal. 40-41). Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih ?

Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin wahabi ini; apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits? Atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah? Atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ? Atau hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi ?! Jika pernyataan-pernyataan diatas ini masih dianggap kurang, padahal sudah jelas pengungkapan faktanya, jangan-jangan mata hati dan pikiran kalian sudah tertutup untuk melihat kebenaran (al-haq) diluar kelompok kalian karena ‘ruh ta’ashub’ sudah mengalir dalam urat nadi kalian! Namun jika kalian berusaha untuk mencari kebenaran yang haq tanpa menafikan informasi dan ilmu dari luar (objektif), tanpa adanya syak prasangka yang jelek (su’udzon), tanpa rasa benci pada seseorang apalagi ia seorang ulama, insyaAllah hidayah menuju pintu kebenaran akan terbuka.

--- ooo ---

Minggu, 17 Juli 2011

Aqidatul Awam: Kitab Akidah Ahlussunnah Waljama’ah

50 AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 50 aqidah, di mana yang 50 aqidah ini dimasukkan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu:
1. Aqidah Ilahiyyah (عقيدة الهية) dan
2. Aqidah Nubuwwiyah (عقيدة نبوية)


Adapun Aqidah Ilahiyyah terdiri dari 41 sifat, yaitu:

a. 20 sifat yang wajib bagi Allah swt: wujud (وجود), qidam (قدم), baqa (بقاء), mukhalafah lil hawaditsi (مخالفة للحوادث), qiyamuhu bin nafsi (قيامه بالنفس), wahdaniyyat (وحدانية), qudrat (قدرة), iradat (ارادة), ilmu (علم), hayat (حياة), sama’ (سمع), bashar (بصر), kalam (كلام), kaunuhu qadiran (كونه قديرا), kaunuhu muridan (كونه مريدا), kaunuhu ‘aliman (كونه عليما), kaunuhu hayyan (كونه حيا), kaunuhu sami’an (كونه سميعا), kaunuhu bashiran (كونه بصيرا), dan kaunuhu mutakalliman (كونه متكلما).
b. 20 sifat yang mustahil bagi Allah swt: ‘adam (tidak ada), huduts (baru), fana’ (rusak), mumatsalah lil hawaditsi (menyerupai makhluk), ‘adamul qiyam bin nafsi (tidak berdiri sendiri), ta’addud (berbilang), ‘ajzu (lemah atau tidak mampu), karohah (terpaksa), jahlun (bodoh), maut, shamam (tuli), ‘ama (buta), bukmun (gagu), kaunuhu ‘ajizan, kaunuhu karihan, kaunuhu jahilan (كونه جاهلا), kaunuhu mayyitan (كونه ميتا), kaunuhu ashamma (كونه أصم), kaunuhu a’ma (كونه أعمى), dan kaunuhu abkam (كونه أبكم).
c. 1 sifat yang ja’iz bagi Allah swt.


 Aqidah Nubuwwiyah terdiri dari 9 sifat, yaitu:

a. 4 sifat yang wajib bagi para Nabi dan Rasul: siddiq (benar), tabligh (menyampaikan), Amanah, dan fathanah (cerdas).
b. 4 sifat yang mustahil bagi para Nabi dan Rasul: kidzib (bohong), kitman (menyembunyikan), khianat, dan baladah (bodoh).
c. 1 sifat yang ja’iz bagi para Nabi dan Rasul.
*****


I. DALIL-DALIL SIFAT WAJIB BAGI ALLAH SWT:

1. Dalil sifat Wujud (Maha Ada): QS Thaha ayat 14, QS Ar-Rum ayat 8, dsb.
2. Dalil sifat Qidam (Maha Dahulu): QS Al-Hadid ayat 3.
3. Dalil sifat Baqa (Maha Kekal): QS Ar-Rahman ayat 27, QS Al-Qashash ayat 88.
4. Dalil sifat Mukhalafah lil Hawaditsi (Maha Berbeda dengan Makhluk): QS Asy-Syura ayat 11, QS Al-Ikhlas ayat 4.
5. Dalil sifat Qiyamuhu bin Nafsi (Maha Berdiri Sendiri): QS Thaha ayat 111, QS Fathir ayat 15.
6. Dalil sifat Wahdaniyyat (Maha Tunggal / Esa): QS Az-Zumar ayat 4, QS Al-Baqarah ayat 163, QS Al-Anbiya’ ayat 22, QS Al-Mukminun ayat 91, dan QS Al-Isra’ ayat 42-43.
7. Dalil sifat Qudrat (Maha Kuasa): QS An-Nur ayat 45, QS Fathir ayat 44.
8. Dalil sifat Iradat (Maha Berkehendak): QS An-Nahl ayat 40, QS Al-Qashash ayat 68, QS Ali Imran ayat 26, QS Asy-Syura ayat 49-50.
9. Dalil sifat Ilmu (Maha Mengetahui): QS Al-Mujadalah ayat 7, QS At-Thalaq ayat 12, QS Al-An’am ayat 59, dan QS Qaf ayat 16.
10. Dalil sifat Hayat (Maha Hidup): QS Al-Furqan ayat 58, QS Ghafir ayat 65, dan QS Thaha 111.
11 & 12. Dalil sifat Sama’ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat): QS Al-Mujadalah ayat 1, QS Thaha ayat 43-46.
13. Dalil sifat Kalam (Maha Berfirman): QS An-Nisa ayat 164, QS Al-A’raf ayat 143, dan QS Asy-Syura ayat 51.
Dua puluh sifat yang wajib bagi Allah tersebut di atas dibagi kepada 4 bagian, yaitu:
1. Sifat Nafsiyyah. Artinya: Sifat yang tidak bisa difahami Dzat Allah tanpa adanya sifat. Sifat Nafsiyyah ini hanya satu sifat, yaitu: sifat wujud.
2. Sifat Salbiyyah. Artinya: Sifat yang tidak pantas adanya di Dzat Allah swt. Sifat Salbiyyah ini jumlahnya ada lima sifat, yaitu: Qidam, Baqa, Mukhalafah lil Hawaditsi, Qiyamuhu bin Nafsi, dan Wahdaniyyah.
3. Sifat Ma’ani. Artinya: Sifat yang tetap dan pantas di Dzat Allah dengan kesempurnaan-Nya. Sifat Ma’ani ini jumlahnya ada tujuh sifat, yaitu: Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam.
4. Sifat Ma’nawiyyah. Artinya: Sifat yang merupakan cabang dari sifat Ma’ani. Sifat Ma’nawyyah ini jumlahnya ada tujuh sifat, yaitu: Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, dan Kaunuhu Mutakalliman.
*****
II. DALIL-DALIL SIFAT JA’IZ BAGI ALLAH

a. QS Al-Qashash ayat 68
b. QS Al-Imran ayat 26
c. QS Al-Baqarah ayat 284


CATATAN PENTING:

Pokok-pokok Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد):

1. Definisi Ilmu Tauhid (حده):
Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini dinamakan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah.
2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (موضوعه): Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.
3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعاه): Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M – 947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).
4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.
5. Nama Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.
6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu selainnya.
7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.
8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.
9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.
10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (غايته): Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.
Wallahu a’lam…..

 Sumber:
http://ummatiummati.wordpress.com/2011/06/25/aqidatul-awam-kitab-akidah-ahlussunnah-yang-bebas-virus-wahabi/#more-3275

Kamis, 14 Juli 2011

Fatwa

Fatwa berasal dari bahasa Arab, fatwa (jamak: fatawa), yang artinya: Petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan mengenai hukum. Dalam istilah ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang dikemukaan oleh seorang mujtahid atau faqih (ahli fiqh), yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Dengan kata lain, si peminta fatwa (baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas), tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan kepadanya. Sebab, fatwa seorang mufti atau ulama bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain.

Fatwa, biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif. Tindakan memberi fatwa disebut Ifta', suatu istilah yang merujuk pada kegiatan memberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti.

Dalam sejarah Islam, dari abad pertama sampai ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama sebagai mufti. Pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi dari Ifta' diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan.

Pada masa Daulah Utsmaniyah, fungsi mufti dikombinasikan denngan hakim. Fungsi kenegaraan yang dibebankan Ifta' tidak menghilangkan pelaksanaan kegiatan itu secara pribadi, yang tidak terikat dengan tugas kenegaraan. Akan tetapi dengan penerapan kitab undang-undang tertentu, dengan segala perlengkapannya yang diambil dari sistem perundang-undangan eropa, kegiatan Ifta' di banyak negara Islam hampir tidak terpakai lagi.
Persyaratan sebagai mufti, antara lain:
a. beragama Islam,
b. memiliki intergritas pribadi ('adil, wara', tegas, dll),
c. berpengetahuan keagamaan yang dalam dan luas,
d. ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi.


Kebutuhan terhadap Fatwa

Pada mulanya, praktek fatwa ini diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa-fatwa ulama tersebut. Pengumpulan fatwa menjadi sebuah kitab, baru muncul pada abad ke-12 M.
Dikalangan madzhab Hanafi, diantara buku-buku kumpulan fatwa yang pertama disusun, antara lain:
  • kitab Adz-Dzakhirah al-Burhaniyyah, yang berisi kumpulan fatwa Syaikh Burhanuddin bin Maza (w. 570 H/1174 M)
  • kitab al-Khaniyyah, yang berisi kumpulan fatwa Qadhi Khan (w. 592 H/1196 M).
  • kitab as-Sirajiyyah, berisi fatwa-fatwa Syaikh Sirajuddin as-Sanjawi (w. abad ke-6 H).
  • kitab Tatar Khaniyyah, berisi fatwa-fatwa Ibn Aliyuddin (w. 800 H/1397 M).
Dikalangan madzhab Maliki, diantara kitab kumpulan fatwa pertama adalah kitab al-Mi'yar  al-Maghrib, yang berisi fatwa-fatwa al-Wansyarisi (w. 914 H/1508 M).
Dikalangan madzhab Syafi'i, diantaranya kitab kumpulan fatwa al-Masail al-Mantsurah atau Fatawa al-Imam an-Nawawi, yang dikumpulkan oleh muridnya, Fariduddin al-'Aththar.
Dikalangan madzhab Hanbali, kitab kumpulan fatwa yang terkenal adalah kitab Majmu' al-Fatawa atau Fatawa al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa Ibn Taimiyah.

Pada abad ke-17, kitab kumpulan fatwa yang terkenal adalah kitab Fatawa Alamghiriyyah dari India.

Kitab kumpulan fatwa pada zaman modern ini, antara lain:
  • al-Fatawa, oleh Syaikh Mahmud Syaltut,
  • Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, oleh Syaikh Ahmad asy-Syarbashi,
  • Fatawa al-Qaradhawi, oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.


Fatwa dan Ijtihad

Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan fatwa dengan ijtihad. Ijtihad, menurut al-Amidi dan an_Nabhani, adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menggali hukum-hukum syari'ah dari dalil-dalil zhanni (dalil yang penunjukan maknanya tidak pasti) hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Sedangkan fatwa atau ifta' hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.

Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan bahwa hukum masalah itu halal atau haram, walau tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, itulah Fatwa. Fatwa ini dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal;
  1. apa hukum atas masalah yang dimaksud,
  2. apa dalilnya,
  3. wajh dhalalalh (sisi-sisi pendalilan),
  4. apa saja jawaban-jawaban atau fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
Berdasarkan hal tersebut, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan, seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). sebab, empat proses tersebut menuntut kemampuan seorang ahli ijtihad , disamping syarat2 lainnya, seperti: muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh, dan memiliki pemikiran yang jernih. Namun asy-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting ia ahli di dalam agama Islam.

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi muftati dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar'i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.

Sumber: http://majalah-alkisah.com/