Kamis, 14 Juli 2011

Fatwa

Fatwa berasal dari bahasa Arab, fatwa (jamak: fatawa), yang artinya: Petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan mengenai hukum. Dalam istilah ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang dikemukaan oleh seorang mujtahid atau faqih (ahli fiqh), yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Dengan kata lain, si peminta fatwa (baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas), tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan kepadanya. Sebab, fatwa seorang mufti atau ulama bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain.

Fatwa, biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif. Tindakan memberi fatwa disebut Ifta', suatu istilah yang merujuk pada kegiatan memberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti.

Dalam sejarah Islam, dari abad pertama sampai ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama sebagai mufti. Pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi dari Ifta' diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan.

Pada masa Daulah Utsmaniyah, fungsi mufti dikombinasikan denngan hakim. Fungsi kenegaraan yang dibebankan Ifta' tidak menghilangkan pelaksanaan kegiatan itu secara pribadi, yang tidak terikat dengan tugas kenegaraan. Akan tetapi dengan penerapan kitab undang-undang tertentu, dengan segala perlengkapannya yang diambil dari sistem perundang-undangan eropa, kegiatan Ifta' di banyak negara Islam hampir tidak terpakai lagi.
Persyaratan sebagai mufti, antara lain:
a. beragama Islam,
b. memiliki intergritas pribadi ('adil, wara', tegas, dll),
c. berpengetahuan keagamaan yang dalam dan luas,
d. ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi.


Kebutuhan terhadap Fatwa

Pada mulanya, praktek fatwa ini diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa-fatwa ulama tersebut. Pengumpulan fatwa menjadi sebuah kitab, baru muncul pada abad ke-12 M.
Dikalangan madzhab Hanafi, diantara buku-buku kumpulan fatwa yang pertama disusun, antara lain:
  • kitab Adz-Dzakhirah al-Burhaniyyah, yang berisi kumpulan fatwa Syaikh Burhanuddin bin Maza (w. 570 H/1174 M)
  • kitab al-Khaniyyah, yang berisi kumpulan fatwa Qadhi Khan (w. 592 H/1196 M).
  • kitab as-Sirajiyyah, berisi fatwa-fatwa Syaikh Sirajuddin as-Sanjawi (w. abad ke-6 H).
  • kitab Tatar Khaniyyah, berisi fatwa-fatwa Ibn Aliyuddin (w. 800 H/1397 M).
Dikalangan madzhab Maliki, diantara kitab kumpulan fatwa pertama adalah kitab al-Mi'yar  al-Maghrib, yang berisi fatwa-fatwa al-Wansyarisi (w. 914 H/1508 M).
Dikalangan madzhab Syafi'i, diantaranya kitab kumpulan fatwa al-Masail al-Mantsurah atau Fatawa al-Imam an-Nawawi, yang dikumpulkan oleh muridnya, Fariduddin al-'Aththar.
Dikalangan madzhab Hanbali, kitab kumpulan fatwa yang terkenal adalah kitab Majmu' al-Fatawa atau Fatawa al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa Ibn Taimiyah.

Pada abad ke-17, kitab kumpulan fatwa yang terkenal adalah kitab Fatawa Alamghiriyyah dari India.

Kitab kumpulan fatwa pada zaman modern ini, antara lain:
  • al-Fatawa, oleh Syaikh Mahmud Syaltut,
  • Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, oleh Syaikh Ahmad asy-Syarbashi,
  • Fatawa al-Qaradhawi, oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.


Fatwa dan Ijtihad

Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan fatwa dengan ijtihad. Ijtihad, menurut al-Amidi dan an_Nabhani, adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menggali hukum-hukum syari'ah dari dalil-dalil zhanni (dalil yang penunjukan maknanya tidak pasti) hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Sedangkan fatwa atau ifta' hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.

Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan bahwa hukum masalah itu halal atau haram, walau tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, itulah Fatwa. Fatwa ini dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal;
  1. apa hukum atas masalah yang dimaksud,
  2. apa dalilnya,
  3. wajh dhalalalh (sisi-sisi pendalilan),
  4. apa saja jawaban-jawaban atau fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
Berdasarkan hal tersebut, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan, seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). sebab, empat proses tersebut menuntut kemampuan seorang ahli ijtihad , disamping syarat2 lainnya, seperti: muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh, dan memiliki pemikiran yang jernih. Namun asy-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting ia ahli di dalam agama Islam.

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi muftati dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar'i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.

Sumber: http://majalah-alkisah.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar